Daftar Blog Saya

Minggu, 29 Oktober 2017

TUBLESKA AYAH (Respon Terhadap Rencana Pembangunan Perumahan Baru di Polman)

Satu pemberitaan media terupdate dan terkini Polewali, malam tadi kembali menarik perhatian saya. Bukan soal berita Penjaringan Waria oleh Satpol PP hingga mereka berteriak "TUBLESKA AYAH...!" Juga bukan soal pemberitaan rumah warga dan lapak pedagang pasar yang rusak diamuk hujan disertai lasoanging. Bukan! 

Apa anda akan memaksa saya menerjemahkan lasoanging ke dalam bahasa Indonesia baku menurut KBBI? Please, jangan! Atau saya akan ikutan berteriak, "TUBLES KA AYAH...!"

Kali ini, pemberitaan media ohline lokal tersebut mengangkat berita yang lebih serius dan punya signifikansi sosial yang cukup urgen. Bertanggal 27 Oktober 2017 berita itu diposting, namun baru malam tadi saya membacanya setelah dishare akang di whatsapp brooh grup. Lebih kurang, berita dari media yang judulnya selalu unik dan antimainstream itu berbunyi :

Target 20.000 Unit Rumah di Polman....! Pengusaha China Bakal Bangun Rumah Murah Anti Api & Gempa....

Menarik bukan? Menarik donkz!

Lantas apa urgensi dan signifikansi sosial yang saya mahsut?

Tentu saja ini bisa jadi subjektif. Sebab, cara pandang orang  jelas berbeda-beha. Tentu akan ada yang beranggapan, bahwa dengan rencana investasi tersebut, jika benar jadi, adalah satu berkah pembangunan yang berpeluang membuka geliat ekonomi baru. Investornya dari Tiongkok loh ini! Sangat dapat menambah pundi-pundi kas daerah. Lumayan toh, ada pembukaan lapangan kerja bagi yu yu  dan kitakita yang penganguyan. Kitakita? Yu yu aja keleuz.

Tapi bagi saya, dan mungkin juga kawan-kawan yang setelah membaca ini akan bersegera mencari link berita Waria Teriak Tubles ka Ayah, bisa jadi tidak akan sependapat dengan anggapan di atas. Sebab, beberapa pengalaman telah membuka mata bahwa masyarakat tidak saja akan berpeluang mendapatkan berkah dari "pembangunan" yang dilakukan pemerintah maupun swasta--tetapi tak jarang terjadi adalah sebaliknya--masyarakat menjadi tumbal dari investasi ekonomi ber-isme kapital yang mewujud dalam slogan "Pembangunan berlanjut". 

Tentu saja saya tidak anti pembangunan. Sebab dalam pengertian luas (bukan sebatas dimaknai fisik), pembangunan itu terang perlu. Dalam kait rel berdemokrasi kita, tentu penting mempertimbangkan gaya bottom-up--bahwa inisiasi sebuah perencanaan, bukan semata berangkat dan berdasar pada elit pemerintah dan pemodal, tapi sungguh lahir dan memperhatikan masyarakat akar rumput. Oke, saya terima kok kalo anda berpikir, sok tau dan sok kihitis ini ohang! 

Dalam konteks berita media di atas, yang menurutnya Pemkab Polman menyambut positif rencana investor tersebut, potensi yang menjadi korban dan besar kemungkinan mengalami kerugian tentu adalah masyarakat petani. Coba rekengkan, 20.000 unit rumah yang konon anti api dan anti gempa ini, jika benar berlanjut, kura-kura akan dibangun dimana jika tidak merembet pada lahan pertanian lagi? Di alun-alun? Enak aja, yu! Ingin mengurangi estetika kota? Lalu dimana lagi para pemuda mihenial adu balap drag dan nongki-nongki g4ol?

Lagian, kalo boleh jujur, sebab sekarang memang sulit jujur, sudah banyak kok perumahan-perumahan seperti KPR BTN bersubsidi misalnya, yang dibangun di daerah ini. Dan kebanyakan diantaranya memang menyasar lokasi persawahan atau lahan tani produktif lain. Anda berpikir saya mengada-ada? Ada-ada saja anda berpikir begitu! Kalau tak percaya, besok kita survey lokasi. Tapi yang tanggung makan siang, situ yah! Sekalian ditraktir kuota internep.

Ada juga itu, rumah susun yang warna cat-nya oresh ungu, bagaimana kabarnya sekarang? Apa sudah berfungsi? Jikalah boleh ber-usul, maka lebih baik mengfungsikan yang sudah ada, ketimbang kembali membikin yang baru dan berpotensi untuk kembali mengalihfungsikan lahan, apatah lagi lahan yang produktif. Lahan yang menjadi sumber penghidupan mayoritas masyarakat di daerah ini.

Kita juga belum tahu, sepenting apa sih rencana pembangunan perumahan tersebut? Berangkatkah dia dari kebutuhan yang mendesak? Sebab selama ini, cukup banyak perumahan bersubsidi yang hanya nganggur, atau hanya dikontrakkan oleh mereka yang sebenarnya sudah punya rumah, tiga malah rumahnya. Kasi kita satu kenapa?

Bagaimana pula dengan rumah susun karya Dirjen PU dan Perumahan Rakyat? Betul untuk rakyat yang memang butuh? Jika betul, selamat! Anda benar!

Investasi modal asing dengan Iming-Iming perumahan murah itu jelas menggiurkan. Lebih menggiurkan daripada janji-janji politik Pilkada menjelang 2018 ini. Tapi yah apa tidak lebih bijak jika perumahan yang telah ada dimaksimalkan dulu? Entah itu soal regulasinya, tepat sasaran subsidinya, kemudahan akses bagi yang kebelet punya rumah tapi bermodal cinta belaka, dan jauh lebih penting, perumahan-perumahan tersebut diprioritaskan ke mereka yang memang butuh rumah, bukan yang butuh pacar.
*Wish keren yah, ada masukannya juga, tidak sekedar kritik. Mantap!

Akan jauh lebih ruwet lagi jika persoalan alih fungsi lahan ini menyinggung ke hal lebih besar. Semisal kasus petani Kendeng, Jawa Tengah, yang jadi issu nasional di awal tahun ini. Mereka harus berlarut dalam pusaran konflik, bertahan dan melawan pihak pemerintah/investor yang terbakar nafsu untuk bereksplorasi di wilayah mereka, yang tentu saja mengancam eksistensi pertanian yang menjadi roh kehidupan mereka. Tapi karena ini ruwet, cukup!

Dalam skala yang anggaplah lebih kecil--Rencana pembangunan perumahan murah anti api dan anti gempa tapi semoga tak anti Pancasila ini, jika benar jadi, tentu saja juga rentan dengan pengalih fungsian hingga penyerobotan lahan seperti yang dikatakan sebelumnya. Tapi tentu kegelisahan ini bukan pada sekedar kecil atau besar skalanya. Namun, selain upaya pemihakan kita pada diri sendiri yang mayoritas sebagai petani, tentu saja kita ingin menjaga kewarasan pemerintah. Bukankah hingga tingkat pemerintah paling tinggi, sudah berkomitmen untuk berkedaulatan pangan seperti dalam mimpi Nawacita? Apakah tak ada logika kacau, jika komitmen tersebut, tidak sejalan dan berkontradiksi dengan implementasi di lapangan, dengan pro pemodal untuk berinvestasi di tanah-tanah produktif pertanian?

Jadi, bapak yang diatas, lihatlah realitas. Sektor penghidupan masyarakat bapak itu mayoritas bergumul dengan tanah. Bertani, Pak! Yah kalau dikurang-kurangi terus lahannya kan kasihan. Cukup sarjana yang menganggur, Pak! Petani jangan! 

Tapi kalau bapak yang di atas tetap ngotot mengkebiri hajat hidup kami yang di bawah, maka dalam tempo 2x24 jam, kami akan mengumpulkan massa, lalu akan berteriak dengan lantang secara berjamaah di depan gedung bapak:


"TUBLES KA AYAAAAH.....!"

Foto.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar