Daftar Blog Saya

Selasa, 01 Mei 2018

May Day; Jurnalis Juga Buruh

Satu teman di pesbuk, kalau bikin status, cukup sering menyisipkan hashtag #kulitinta. Saya menuju link KBBI online. Dugaanku benar, yang dimaksud dengan istilah "kulitinta", adalah profesi yang bergelut dan berpenghasilan dari dunia tulis-menulis, atau profesi lainnya seperti: Jurnalis.

Sebagian besar dari kita mungkin akan setuju, bahwa kata "kuli" dapat disepadankan dengan kata "buruh". Mungkin sebagiannya, punya pendapat, bahwa kuli itu, tidak bisa mendengar. Namun berhubung saat ini adalah momen May Day, kita bersepakat saja, bahwa kata KULI, semaksud dengan kata BURUH. Maka jika ditarik lagi ke dalam pengertian Kulitinta menurut KBBI, kesimpulan akhirnya adalah: Jurnalis itu buruh. Buruh yang pundi pendapatannya, bersumber dari honor pada perusahaan media tempatnya bekerja.

Syariat Tajuddin (mantan Jurnalis Senior di Jawa Pos), dalam satu kesempatannya berkata; Jurnalis adalah sebuah "profesi", bukan pekerjaan. Jurnalis, selain membutuhkan keahlian tertentu, juga mengemban mandat idealisme. Persoalan pundi, adalah efek kesekian dari pergulatan yang dilakoninya.

Terlepas dari ketersetujuan saya, dan mungkin juga kita, bahwa profesi jurnalis bukanlah jalan untuk meraup pundi lalu menjadi horang kaya-- kita juga sebaiknya bersepakat, bahwa jurnalis dengan segala resiko tinggi yang dihadapinya, mestilah tetap diapresiasi oleh media tempatnya bekerja dengan salah satunya memberikan salary yang setimpal. Ini perlu, bos! Sebab kita tahu, aktifitas jurnalis itu dituntut mobile. Kendaraannya butuh diisi BBM. Kuota internetnya perlu aktif agar tetap WA-an.

Ancaman eksternal yang paling mengerikan dari dunia jurnalisme kita, salah satunya datang dari amplop tuan-tuan gendut yang jadi sumber berita. Semakin sensitif issu yang diangkat, bisa jadi semakin tebal pula amplop yang akan dijejalkan ke mulut para oknum jurnalis agar tak lagi bicara. Jika sudah begitu, sirnalah mandat dari profesi yang mulia ini.

Maraknya pemberitaan timpang, yang alih-alih menjernihkan informasi tapi malah memperkeruh suasana, mungkin juga disebabkan oleh lesunya gairah jurnalis untuk melakukan verifikasi dan klarifikasi langsung pada sumber berita. Bisa jadi karena BBM di tangki motor telah kerontang. Kuota internet juga butuh di isi ulang. Sedang perusahaan media tempatnya bekerja, sudah mendesak berita harus segera tayang. Jika sudah begitu, mau tak mau jurnalis setor berita. Berimbang atau tidak, belakang persoalang.

Tapi tentu asumsi ini tidak berlaku di Sulawesi Barat. Sebab, media sebagai wadah pergulatan para jurnalis hebat di wilayah ini, telah sangat baik. Manajemen perusahaan media lokal, baik yang konvensional maupun yang ber-platform digital, telah memenuhi standar ideal. Jurnalis, yang dari premis awal di atas dapat juga disebut dengan buruh, telah sangat dipenuhi hak-haknya. Tidak ada lagi pemberitaan timpang, sebab jurnalisnya bergairah dan rajin klarifikasi. Tak ada lagi pemberitaan yang di '86-kan'--sebab dengan upah yang sangat layak, menerima amplop untuk merongrong prinsip, adalah siriq bagi insan pers di propinsi Malaqbi ini.

Maka, jika ada provokasi yang mengerahkan kita agar turun ke jalan memperjuang serta menyuarakan hak yang harus diterima para buruh media di momen May Day ini, sebaiknya berpikir-pikir lagi. Anda juga perlu membaca informasi terbaru, bahwa Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Barat di tahun 2018 ini, mencapai angka Rp 2.193.530. Naik  Rp 175.750, dari tahun 2017 yang masih senilai Rp 2.017.780. Nah, bukankah ini kabar bahagia dan nikmat yang dosa jika didustakan?

Semoga kita diberi kekuatan mempercayainya!


foto: FSPM

foto: AJI Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar