Daftar Blog Saya

Rabu, 13 Desember 2017

Abu Janda, Felix Xiau, dan Perbicangan Seolah-olah

Makan siang tadi siang tidak terlalu jauh berbeda dari makan siang makan siang sebelumnya. Tetap makan nasi, bukan bubur apalagi dedak dicampur keong. Namun yang istimewah, sebab saya menyantap makan siang alakadarnya dengan satu sahabat yang gondrong dan jenggotnya saja sudah progresif.

Meski di meja makan ringkih itu nasi hanya ditemani perkedel jagung yang pinggirannya gosong sebab digoreng sendiri oleh saya, telur dadar yang lumayanlah rasanya sebab diracik sendiri oleh saya, dan satu ikan bandeng goreng dengan taburan biji cabe keriting diatasnya--makanan ini tetap disyukuri, sebab yakin saya sumbernya dari rezeki yang halolan thoyyiban. Insyaallah tidak bersumber dari kalomang yang tempo hari menggauli kas daerah.

Agak lain memang, sebab tidak ada sayur bening atau unsur-unsur yang ada kuahnya. Entah hari ini kenapa si sayur tidak ada. Mau mengganti dengan kuah mi instan, tentu saja adalah bentuk pelanggaran HAM. Sebab sahabat ini sudah membenci indomie sejak dalam pikiran. Bisa-bisa nanti makan siang tertunda, sebab harus mengkaji PT. Indofood secara ekonomi dan politik dulu. Namun tentu saja itu hanya pikiran spekulatif saja. Sebab meski tidak selera dengan imdomie sejak dalam pikiran, sahabat ini sangat toleran pada yang berbeda pandang, dan jelas sangat menghargai orang yang punya pacar sejak dalam kenangan.

Meminjam ungkapan Felix Siauw, Hamdulillah, sepertinya dia cukup menikmati makanan di depannya. Sebagai manusia yang pernah hidup di kost atau sekret orhanisasi, makanan alakadar tersebut tentu sudah spesial. Sebab sudah cukup banyak waktu kita hanya makan roti sekali dalam sehari, ataupun nasi putih yang ditemani kerupuk ajisan. Sesekali memang diganti dengan ayam. Kerupuk ayam mas, maksudnya.

Meski konon pamali mengobrol saat makan, hal tersebut tak bisa dihindari. Sahabat saya ini memang senang diskusi. Ditengah pergulatan intelektualnya, tentu wajar jika dirinya sering membaca realitas tidak dengan normatif-normatif saja. Dan itu yang membuat dia menjadi teman diskusi yang baik. Tak disangkal, saya cukup banyak mendapat hal yang informatif dari alena balao, maksudnya beliau. Dan jika obrolan sambil makan itu adalah pamali, saya berharap semoga menjadi pamali yang hasanah, bukannya dholalah.

Tapi entah karena dimulai dengan obrolan apa, tiba-tiba saja kawan ini bermanuver dengan memberi pertanyaan kecil.

"Kira-kira, kapan itu media on line se-massif sekarang die?"

Saya tahu, dia sedang memposisikan saya sebagai orang dewasa. Menempatkan saya setara dengan dirinya sebagai subjek sebuah topik kecil -- yang besar kemungkinan sebenarnya dia sudah tahu. Gondrong gitu loh!

Saya menandaskan perkedel jagung yang terlanjur saya kunyah. Lalu agar tidak terkesan seperti Ustad Abu Janda yang oleh netizen dikatakan kalah debat di ILC beberapa waktu yang lalu, saya berpikir sejenak, dan mencoba menyusun argumentasi yang kira-kira logis dan se-retorikaik Ustad Felix Siauw. Tapi tentu saja tetap dengan sikap rendah hati dan tidak sombong. Alih-alih dengan jumawah mengatakan, bahwa Kalau di Indonesia ini, insyaallah saya yang paling paham media on laing.

"Kurang tau ka itu nah. Tapi kalo di Sulbar ini, kayaknya media online itu massif sekali sejak Pilgub lalu," ucap saya dengan sok yakin.

Dan karena katanya ustad Felix kalau ngomong harus ada data, maka saya pun mencoba meniru-nirunya.

"Bahkan di Mamuju itu, ada sekian ratus media online. Mungkin sekitar 200 an lebih. Belum pi lagi yang di Majene, Mamuju, Mamasa, dan Polman sendiri" ucap saya lagi, tanpa bilang hamdulillah.

"Anumi sekarang die, tidak terlalu bagaimana mi orang kalau ada tulisannya di media. Beda dulu, penulis atau jurnalis itu kesan intelektualnya masih sangat kuat" ucapnya, memancing pendapat saya, seperti Karni Ilyas.

Saya memperbaiki posisi duduk, mencoba mengatur intonasi suara agar tetap terkesan seperti Felix Siauw, dan mulai memberi pendapat sok saya, persis ketika tangannya menyambar sepotong telor dadar yang saya beri lima potong cabe itu.

"Bisa jadi memang. Tapi kalau saya, dengan massifnya media OL seperti sekarang, bagus tonji untuk pengayaan wacana. Jadi bedami dengan dulu-dulu, wacana yang dilempar ke kita betul-betul menjadi monopolinya jurnalis dan media mapan. Kalau sekarang, praktis semua unsur bisa membicarakan dirinya, merangkai, dan menjadi subjek pada wacananya sendiri. Mau dia petani, nelayan, politisi, gembel, sampai koruptor", kata saya panjang lebar, seperti benar-benar paham persoalan, dan paling tahu media on line se-Indonesia.

Sahabat saya itu tidak menganguk-ngangguk, atau memberi kode jika Ia cukup mengerti apa yang saya katakan. Ia hanya mengambil air putih dan segera meminumnya. Iyalah diminum, sebab jika ia lebih memilih menumpahkannya, itu sungguh tindakan yang selucu parodi Abu Janda--yang membikin Abu-abu lain disana tertawa penuh kemenangan. Sebab dianggapnya mereka telah menang. Padahal Abu yang bapaknya Janda itu, mungkin memang hanya sedang lucu-lucuan. Ah, bodo amat!


Abu Janda dan Felix Siauw di acara WWE ILC (Indonesia Lawak Club)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar