Daftar Blog Saya

Rabu, 02 Mei 2018

Melawan Dominasi; Memetik Pelajaran di Kulit Bundar

Real Madrid itu sangat dominatif di liga champions. Tim ini hebat. Itu satu kenyataan yang tak terpungkiri. Tapi hal yang dominatif itu cukup sering menimbulkan kejenuhan. Apalagi jika dalam perjalanannya kemudian, untuk mempertahankan gelar juara dan dominasi itu, diiringi dengan hal berbau kontroversi, alih-alih permainan menawan.

Kejenuhan itu kemudian terendus dalam harapan banyak pecinta sepakbola, untuk melihat juara baru di champions league musim ini. Menarik, sebab harapan itu diletakkan pada tim-tim yang bisa dikata medioker, seperti Liverpool ataupun AS Roma.

Dua tim ini memang memberi kejutan. Permainannya selain cantik, juga menebar aura perjuangan dan aksi heroik melawan tim-tim mapan seperti Manchester City ataupun Barcelona. Sayangnya, kita harus melihat Liverpool dan AS Roma, saling bantai di semi final.
                                                            
Bukan karena suka Andreas Iniesta yang gugur bersama tim mapan lainnya, lalu saya bilang begini. Tapi sebagai warga negara dunia ketiga, kita memang agak sensi dengan hal-hal yang sifatnya dominatif. Lelah kita hidup dalam suasana itu. Maka seandainya anda begitu fanatik dengan Real Madrid, saya yakin, dalam hati kecil anda akan tetap senang, jika seandainya tim sekelas Real Zaragosa lah yang keluar sebagai juara champions.

Musim 2015-2016, Leicester City menghentak Liga Premier Inggris. Sebuah tim yang tak banyak dikenal, tak diisi pemain mahal. Tapi dengan kenyataan itu, Leicester malah jadi juara di liga yang konon paling kompetitif di dunia ini. Leicester mampu mematahkan dominasi tim-tim besar. Tim yang dengan gelimang kekayaannya, bisa mendatangkan pemain mahal mana saja yang mereka mau. Bukankah kita ikut berbahagia atas pencapaian Leicester ketika itu?

Juga sangat besar kemungkinan, bahwa fans Manchester United, (tim yang waktu itu menghabiskan 2,05 triliun) atau fans Manchester City (klub yang menghamburkan hingga 2,8 triliun untuk berbelanja pemain bintang), juga memberi respek dan penghormatan tinggi pada Leicester City--yang dengan budget 757 miliar saja, pemain-pemain tak terkenalnya lah yang mengangkat tropi juara.

Piala dunia 2018 nanti pun bisa jadi begitu. Kita mungkin mengunggulkan tim-tim mapan seperti Spanyol, Jerman, atau Brazil. Tapi sekali lagi, jika kita jenuh dengan dominasi, kita akan lebih berbangga melihat Tim nasional Mesir, atau Timnas negara Afrika lainnya yang jadi kampiun. Penyebabnya bisa jadi karena kita merasa senasib sepenanggungan. Sama-sama negeri dunia ketiga yang ingin menunjukkan taring pada gemerlapnya dominasi sepakbola barat.

Mungkin terkesan dipaksakan, jika hal ini di hubung-hubungkan dalam realitas politik kita. Yang menurut saya, masih begitu dominatif. Ruang-ruang perjuangan kebijakan, melulu diisi oleh mereka yang telah mapan akses politiknya. Yang dengan akses dan sel-sel politik yang disemai, mereka terus melenggang anggun di karpet merah kekuasaan.

Padahal, dengan semakin apatis dan pragmatisnya kita dalam menaruh harapan di pundak mereka, bisa jadi akibat jenuhnya kita dengan dominasi tanpa disertai kinerjanya yang menawan--yang dalam bahasanya Milea disebut; gitu-gitu ajah.

Maka, jika kita semakin jenuh dengan keadaan yang demikian, sudah saatnya kita tak lagi terpaku pada mereka yang dominatif dan mapan itu. Tapi untuk melihat sesuatu yang baru, sudah waktunya kita memilin asa pada mereka yang punya kapabilitas, serta tegas komitmen dan keberpihakannya--tapi masih tersisih Di Pinggiran Desa--tersembunyi di bawah bayang-bayang dominasi dan kemapanan politik para elit kita di atas sana.

gbr : Nalar Politik


 Cuplikan pertandingan antara Liverpool vs Asroma di leg ke 2 Liga Champions 2018


      Leicester City saat menjadi kampiun di Liga Premier Inggris musim 2015-2016

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar