Daftar Blog Saya

Senin, 25 Desember 2017

Selamat Natal, Santho!

SANTOSO -- Sekilas mendengar nama ini, sangat sulit untuk tidak membayangkan dirinya adalah sosok pria kekar dengan tubuh penuh otot macam Agung Hercules, Dwayne Johnson, hingga Cristiano Ronaldo. Oh yah, yang disebut terakhir itu adalah salah satu korban pemberontakan pasukan Catalonia di Bernabeu, dua hari lalu -- sebuah laga bertajuk El Clasico, yang konon katanya lebih mirip ajang geladi bagi Gerrard Pique, untuk kompetisi yang sesungguhnya di liga champions musim ini.

Namun alih-alih serupa Agung, Dwayne, atau Ronaldo; kawan saya ini tampak lebih mirip Andik Firmansyah. Postur biasa saja -- tapi stamina, kecepatan, dan kejujuran, bolehlah diadu dengan Dani Carvajal, pemain el blancos yang diganjar kartu merah, sebab dengan sengaja menangkap bola di bawah mistar gawang, padahal posisinya bek kanan, bukan aparat kepolisian.

"Itu hanya bola, Jal! Bukan Papa. Kenapa ditangkap, gol kan?"

Kira-kira begitu bisikan hati Messi sesaat sebelum mengeksekusi pinalti.

Tapi stamina Santoso memang tidak pernah saya sangsikan. Dialah manusia pertama yang saya saksikan mampu mendorong sepeda motor berkilo-kilo jauhnya di jalan yang hampir seluruhnya adalah tanjakan. Peristiwa bersejarah yang luput dicatat Jaya Suprana di rekor MURI itu, terjadi saat kami melakukan observasi wilayah saat ber-kkn dulu.

Soal kecepatan, Dia pula ahlinya. Bukan hanya soal kecepatan merasa lapar dan paling cepat di meja makan. Santho, begitu biasa ia kami sapa, juga sangat cepat dalam soal memacu sepeda motor. Pernah saya hampir dibuat muntah karena diboncengnya. Entah karena bermaksud menguji adrenalin, atau dia punya sembilan cadangan nyawa, yang jelas, gaya mengendaranya seperti sedang beradu balap dengan garis putih di tengah jalan. Belakangan saya berpikir, seharusnya yang jadi bintang iklan jupiter itu dia, bukannya Komeng.

Antho Demallolongan, begitu nama kerennya di pesbuk, selain bersahaja, juga punya sebuah kekuatan meruntuhkan wibawa orang di sekitarnya. Bagaimana penuh payahnya saya menjaga wibawa sebagai kordes dengan citra kalem, tenang, dan mengayomi -- di hadapan Santoso, dan dua orang kawan lainnya, hancur berkeping-keping. Tak tahan saya untuk tidak ikut berjoged tiap kali musik discodut Ia putar.

Apalah saya. Yang lebih jauh ganas jadi korban adalah orang tua angkat di lokasi KKN, Pak Desa.
Satu dua minggu berjalan, keadaan masih kondusif. Masing-masing jaga image, antara 10 mahasiswa dan Pak Desa. Tapi entah telah terjadi manuver dan lobi apa di belakang sana, tiba-tiba saja hampir setiap malam terjadi perang kentut yang memekakan telinga. Suasana posko yang sunyi menjelang istirahat malam, seolah berubah jadi Jalur Gaza yang mencekam. Sulit untuk melakukan aksi protes dan perlawanan, sebab selain Santo dan dua kawan lainnya, Pakde jualah yang paling antusias dan mengapresiasi helatan yang menjurus anarkis tersebut.

Tapi tentu saja tidak ada anarkis. Tidak ada dendam, apalagi perasaan yang tersakiti. Sebab selebihnya, penghormatan dan saling menghargai antara kami, telah melebur ke dalam bentuknya yang paling absurd, namun merekatkan.

Idul Fitri tahun lalu adalah kunjungan terakhir ke kediaman pakde. Bersama kawan lainnya, kami bersilaturrahmi kembali. Dan ternyata yang paling dinanti kehadirannya adalah dia yang pernah meruntuhkan wibawa pakde; Santoso.

Entah bagaimana sekarang. Kabar terakhirnya konon Ia sedang sibuk menjalani hari-hari sebagai fresh graduate di kota Daeng. Tapi semoga tak termakan sibuklah. Sebab melewatkan Natal tanpa bersama keluarga, tentu saja berpotensi menjatuhkan air mata.

Selamat Natal, bro! Semoga senantiasa diberi keselamatan dimanapun dirimu berada. Selamat Natal juga untuk saudara yang lain yang merayakan Natal tahun ini

Santoso saat mendorong sepeda motor Pak De ber-kilo-kilo-meter jaunya -- di jalan yang penuh dengan tanjakan

Rabu, 13 Desember 2017

Abu Janda, Felix Xiau, dan Perbicangan Seolah-olah

Makan siang tadi siang tidak terlalu jauh berbeda dari makan siang makan siang sebelumnya. Tetap makan nasi, bukan bubur apalagi dedak dicampur keong. Namun yang istimewah, sebab saya menyantap makan siang alakadarnya dengan satu sahabat yang gondrong dan jenggotnya saja sudah progresif.

Meski di meja makan ringkih itu nasi hanya ditemani perkedel jagung yang pinggirannya gosong sebab digoreng sendiri oleh saya, telur dadar yang lumayanlah rasanya sebab diracik sendiri oleh saya, dan satu ikan bandeng goreng dengan taburan biji cabe keriting diatasnya--makanan ini tetap disyukuri, sebab yakin saya sumbernya dari rezeki yang halolan thoyyiban. Insyaallah tidak bersumber dari kalomang yang tempo hari menggauli kas daerah.

Agak lain memang, sebab tidak ada sayur bening atau unsur-unsur yang ada kuahnya. Entah hari ini kenapa si sayur tidak ada. Mau mengganti dengan kuah mi instan, tentu saja adalah bentuk pelanggaran HAM. Sebab sahabat ini sudah membenci indomie sejak dalam pikiran. Bisa-bisa nanti makan siang tertunda, sebab harus mengkaji PT. Indofood secara ekonomi dan politik dulu. Namun tentu saja itu hanya pikiran spekulatif saja. Sebab meski tidak selera dengan imdomie sejak dalam pikiran, sahabat ini sangat toleran pada yang berbeda pandang, dan jelas sangat menghargai orang yang punya pacar sejak dalam kenangan.

Meminjam ungkapan Felix Siauw, Hamdulillah, sepertinya dia cukup menikmati makanan di depannya. Sebagai manusia yang pernah hidup di kost atau sekret orhanisasi, makanan alakadar tersebut tentu sudah spesial. Sebab sudah cukup banyak waktu kita hanya makan roti sekali dalam sehari, ataupun nasi putih yang ditemani kerupuk ajisan. Sesekali memang diganti dengan ayam. Kerupuk ayam mas, maksudnya.

Meski konon pamali mengobrol saat makan, hal tersebut tak bisa dihindari. Sahabat saya ini memang senang diskusi. Ditengah pergulatan intelektualnya, tentu wajar jika dirinya sering membaca realitas tidak dengan normatif-normatif saja. Dan itu yang membuat dia menjadi teman diskusi yang baik. Tak disangkal, saya cukup banyak mendapat hal yang informatif dari alena balao, maksudnya beliau. Dan jika obrolan sambil makan itu adalah pamali, saya berharap semoga menjadi pamali yang hasanah, bukannya dholalah.

Tapi entah karena dimulai dengan obrolan apa, tiba-tiba saja kawan ini bermanuver dengan memberi pertanyaan kecil.

"Kira-kira, kapan itu media on line se-massif sekarang die?"

Saya tahu, dia sedang memposisikan saya sebagai orang dewasa. Menempatkan saya setara dengan dirinya sebagai subjek sebuah topik kecil -- yang besar kemungkinan sebenarnya dia sudah tahu. Gondrong gitu loh!

Saya menandaskan perkedel jagung yang terlanjur saya kunyah. Lalu agar tidak terkesan seperti Ustad Abu Janda yang oleh netizen dikatakan kalah debat di ILC beberapa waktu yang lalu, saya berpikir sejenak, dan mencoba menyusun argumentasi yang kira-kira logis dan se-retorikaik Ustad Felix Siauw. Tapi tentu saja tetap dengan sikap rendah hati dan tidak sombong. Alih-alih dengan jumawah mengatakan, bahwa Kalau di Indonesia ini, insyaallah saya yang paling paham media on laing.

"Kurang tau ka itu nah. Tapi kalo di Sulbar ini, kayaknya media online itu massif sekali sejak Pilgub lalu," ucap saya dengan sok yakin.

Dan karena katanya ustad Felix kalau ngomong harus ada data, maka saya pun mencoba meniru-nirunya.

"Bahkan di Mamuju itu, ada sekian ratus media online. Mungkin sekitar 200 an lebih. Belum pi lagi yang di Majene, Mamuju, Mamasa, dan Polman sendiri" ucap saya lagi, tanpa bilang hamdulillah.

"Anumi sekarang die, tidak terlalu bagaimana mi orang kalau ada tulisannya di media. Beda dulu, penulis atau jurnalis itu kesan intelektualnya masih sangat kuat" ucapnya, memancing pendapat saya, seperti Karni Ilyas.

Saya memperbaiki posisi duduk, mencoba mengatur intonasi suara agar tetap terkesan seperti Felix Siauw, dan mulai memberi pendapat sok saya, persis ketika tangannya menyambar sepotong telor dadar yang saya beri lima potong cabe itu.

"Bisa jadi memang. Tapi kalau saya, dengan massifnya media OL seperti sekarang, bagus tonji untuk pengayaan wacana. Jadi bedami dengan dulu-dulu, wacana yang dilempar ke kita betul-betul menjadi monopolinya jurnalis dan media mapan. Kalau sekarang, praktis semua unsur bisa membicarakan dirinya, merangkai, dan menjadi subjek pada wacananya sendiri. Mau dia petani, nelayan, politisi, gembel, sampai koruptor", kata saya panjang lebar, seperti benar-benar paham persoalan, dan paling tahu media on line se-Indonesia.

Sahabat saya itu tidak menganguk-ngangguk, atau memberi kode jika Ia cukup mengerti apa yang saya katakan. Ia hanya mengambil air putih dan segera meminumnya. Iyalah diminum, sebab jika ia lebih memilih menumpahkannya, itu sungguh tindakan yang selucu parodi Abu Janda--yang membikin Abu-abu lain disana tertawa penuh kemenangan. Sebab dianggapnya mereka telah menang. Padahal Abu yang bapaknya Janda itu, mungkin memang hanya sedang lucu-lucuan. Ah, bodo amat!


Abu Janda dan Felix Siauw di acara WWE ILC (Indonesia Lawak Club)



Minggu, 29 Oktober 2017

TUBLESKA AYAH (Respon Terhadap Rencana Pembangunan Perumahan Baru di Polman)

Satu pemberitaan media terupdate dan terkini Polewali, malam tadi kembali menarik perhatian saya. Bukan soal berita Penjaringan Waria oleh Satpol PP hingga mereka berteriak "TUBLESKA AYAH...!" Juga bukan soal pemberitaan rumah warga dan lapak pedagang pasar yang rusak diamuk hujan disertai lasoanging. Bukan! 

Apa anda akan memaksa saya menerjemahkan lasoanging ke dalam bahasa Indonesia baku menurut KBBI? Please, jangan! Atau saya akan ikutan berteriak, "TUBLES KA AYAH...!"

Kali ini, pemberitaan media ohline lokal tersebut mengangkat berita yang lebih serius dan punya signifikansi sosial yang cukup urgen. Bertanggal 27 Oktober 2017 berita itu diposting, namun baru malam tadi saya membacanya setelah dishare akang di whatsapp brooh grup. Lebih kurang, berita dari media yang judulnya selalu unik dan antimainstream itu berbunyi :

Target 20.000 Unit Rumah di Polman....! Pengusaha China Bakal Bangun Rumah Murah Anti Api & Gempa....

Menarik bukan? Menarik donkz!

Lantas apa urgensi dan signifikansi sosial yang saya mahsut?

Tentu saja ini bisa jadi subjektif. Sebab, cara pandang orang  jelas berbeda-beha. Tentu akan ada yang beranggapan, bahwa dengan rencana investasi tersebut, jika benar jadi, adalah satu berkah pembangunan yang berpeluang membuka geliat ekonomi baru. Investornya dari Tiongkok loh ini! Sangat dapat menambah pundi-pundi kas daerah. Lumayan toh, ada pembukaan lapangan kerja bagi yu yu  dan kitakita yang penganguyan. Kitakita? Yu yu aja keleuz.

Tapi bagi saya, dan mungkin juga kawan-kawan yang setelah membaca ini akan bersegera mencari link berita Waria Teriak Tubles ka Ayah, bisa jadi tidak akan sependapat dengan anggapan di atas. Sebab, beberapa pengalaman telah membuka mata bahwa masyarakat tidak saja akan berpeluang mendapatkan berkah dari "pembangunan" yang dilakukan pemerintah maupun swasta--tetapi tak jarang terjadi adalah sebaliknya--masyarakat menjadi tumbal dari investasi ekonomi ber-isme kapital yang mewujud dalam slogan "Pembangunan berlanjut". 

Tentu saja saya tidak anti pembangunan. Sebab dalam pengertian luas (bukan sebatas dimaknai fisik), pembangunan itu terang perlu. Dalam kait rel berdemokrasi kita, tentu penting mempertimbangkan gaya bottom-up--bahwa inisiasi sebuah perencanaan, bukan semata berangkat dan berdasar pada elit pemerintah dan pemodal, tapi sungguh lahir dan memperhatikan masyarakat akar rumput. Oke, saya terima kok kalo anda berpikir, sok tau dan sok kihitis ini ohang! 

Dalam konteks berita media di atas, yang menurutnya Pemkab Polman menyambut positif rencana investor tersebut, potensi yang menjadi korban dan besar kemungkinan mengalami kerugian tentu adalah masyarakat petani. Coba rekengkan, 20.000 unit rumah yang konon anti api dan anti gempa ini, jika benar berlanjut, kura-kura akan dibangun dimana jika tidak merembet pada lahan pertanian lagi? Di alun-alun? Enak aja, yu! Ingin mengurangi estetika kota? Lalu dimana lagi para pemuda mihenial adu balap drag dan nongki-nongki g4ol?

Lagian, kalo boleh jujur, sebab sekarang memang sulit jujur, sudah banyak kok perumahan-perumahan seperti KPR BTN bersubsidi misalnya, yang dibangun di daerah ini. Dan kebanyakan diantaranya memang menyasar lokasi persawahan atau lahan tani produktif lain. Anda berpikir saya mengada-ada? Ada-ada saja anda berpikir begitu! Kalau tak percaya, besok kita survey lokasi. Tapi yang tanggung makan siang, situ yah! Sekalian ditraktir kuota internep.

Ada juga itu, rumah susun yang warna cat-nya oresh ungu, bagaimana kabarnya sekarang? Apa sudah berfungsi? Jikalah boleh ber-usul, maka lebih baik mengfungsikan yang sudah ada, ketimbang kembali membikin yang baru dan berpotensi untuk kembali mengalihfungsikan lahan, apatah lagi lahan yang produktif. Lahan yang menjadi sumber penghidupan mayoritas masyarakat di daerah ini.

Kita juga belum tahu, sepenting apa sih rencana pembangunan perumahan tersebut? Berangkatkah dia dari kebutuhan yang mendesak? Sebab selama ini, cukup banyak perumahan bersubsidi yang hanya nganggur, atau hanya dikontrakkan oleh mereka yang sebenarnya sudah punya rumah, tiga malah rumahnya. Kasi kita satu kenapa?

Bagaimana pula dengan rumah susun karya Dirjen PU dan Perumahan Rakyat? Betul untuk rakyat yang memang butuh? Jika betul, selamat! Anda benar!

Investasi modal asing dengan Iming-Iming perumahan murah itu jelas menggiurkan. Lebih menggiurkan daripada janji-janji politik Pilkada menjelang 2018 ini. Tapi yah apa tidak lebih bijak jika perumahan yang telah ada dimaksimalkan dulu? Entah itu soal regulasinya, tepat sasaran subsidinya, kemudahan akses bagi yang kebelet punya rumah tapi bermodal cinta belaka, dan jauh lebih penting, perumahan-perumahan tersebut diprioritaskan ke mereka yang memang butuh rumah, bukan yang butuh pacar.
*Wish keren yah, ada masukannya juga, tidak sekedar kritik. Mantap!

Akan jauh lebih ruwet lagi jika persoalan alih fungsi lahan ini menyinggung ke hal lebih besar. Semisal kasus petani Kendeng, Jawa Tengah, yang jadi issu nasional di awal tahun ini. Mereka harus berlarut dalam pusaran konflik, bertahan dan melawan pihak pemerintah/investor yang terbakar nafsu untuk bereksplorasi di wilayah mereka, yang tentu saja mengancam eksistensi pertanian yang menjadi roh kehidupan mereka. Tapi karena ini ruwet, cukup!

Dalam skala yang anggaplah lebih kecil--Rencana pembangunan perumahan murah anti api dan anti gempa tapi semoga tak anti Pancasila ini, jika benar jadi, tentu saja juga rentan dengan pengalih fungsian hingga penyerobotan lahan seperti yang dikatakan sebelumnya. Tapi tentu kegelisahan ini bukan pada sekedar kecil atau besar skalanya. Namun, selain upaya pemihakan kita pada diri sendiri yang mayoritas sebagai petani, tentu saja kita ingin menjaga kewarasan pemerintah. Bukankah hingga tingkat pemerintah paling tinggi, sudah berkomitmen untuk berkedaulatan pangan seperti dalam mimpi Nawacita? Apakah tak ada logika kacau, jika komitmen tersebut, tidak sejalan dan berkontradiksi dengan implementasi di lapangan, dengan pro pemodal untuk berinvestasi di tanah-tanah produktif pertanian?

Jadi, bapak yang diatas, lihatlah realitas. Sektor penghidupan masyarakat bapak itu mayoritas bergumul dengan tanah. Bertani, Pak! Yah kalau dikurang-kurangi terus lahannya kan kasihan. Cukup sarjana yang menganggur, Pak! Petani jangan! 

Tapi kalau bapak yang di atas tetap ngotot mengkebiri hajat hidup kami yang di bawah, maka dalam tempo 2x24 jam, kami akan mengumpulkan massa, lalu akan berteriak dengan lantang secara berjamaah di depan gedung bapak:


"TUBLES KA AYAAAAH.....!"

Foto.net

Kamis, 26 Oktober 2017

Manis Nella Goyang, Magis Jaran Goyang

Seorang kawan, yang jauh dari kriteria rupawan namun cukup dermawan, pernah berbagi kisah soal pengalamannya sebagai wartawan. Pengalaman yang umumnya terjadi di dapur redaksi media. Dikejar deadline, merevisi laporan reporter yang kadang beritanya oh lain, sampai jungkir balik meng-utak-atik kata, sebab bapak pimpinan matanya melotot, ngga srek dengan judul headline.

Bekerja di bawah tekanan, tanpa kontrol diri yang baik disertai kekuatan iman, tentu berpotensi memicu ledakan emosi yang serpihan amarahnya meluber kemana-mana. Bisa jadi malah menambah kerjaan baru, membikin berita kriminal--Pemukulan Terhadap Sesama Kawan, atau Penganiayaan Berjamaah kepada Bapak Pimpinan. Beruntunglah, ilustrasi yang dramatis dan berlebihan ini, di cerita kawan itu tak kejadian.

Solusinya malah terkesan simpel tapi mujarab. Sebab, ketika menghadapai situasi dikejar deadline seperti tersebut, kawan saya dan awak redaksinya, hanya butuh segelas kopi, hisapan cigaret yang khusuk, dan ini yang paling penting; Mendengarkan lagu Nella Kharisma, Jaran Goyang.

Cukup terkesima saya dengan cerita kawan itu. Meski solusinya terkesan mainstream, karena mendengarkan musik itu memang telah jadi kebiasaan umum. Namun cerita kawan itu sungguh menyisakan sekelumit tanya di dalam hati; Kenapa harus lagu Nella Kharisma? Apakah lirik-lirik dalam lagu yang dibawanya, yang konon mengandung unsur magis itu, dapat diaplikasikan lebih luas lagi?

Apakah kemagisannya, juga dapat menenangkan kita, saat kerlip lampu di alun-alun kota diklaim sebagai keberhasilan pembangunan, padahal situasi kemiskinan di desa masih kian menganga? Memang mulus aspal di jalan, tapi kok bayi-bayi tumbang kekurangan nutrisinya? Lalu apakah ketukan gendang lagu Jaran Goyang, juga dapat meredakan kecewa, saat para pemimpin rakyat memunggungi aspirasi dan meludahi kepercayaan yang terberi kepadanya? Bisakah? Bisakah? Jawablah! wahai, Nella Kharisma!

"Yah kok tanya Aku toh, Mas? Tanya Pak Bupati dan Pak Dewan-mu-lah! Dasar kamu, sok kritik sosial!"

Saya mengira-ngira, jawaban Dek Nella akan semanja itu. Namun buru-buru saya terjaga dari lamunan, dan sekian pertanyaan-pertanyaan absurd tersebut.

Seperti ada wahyu dari langit ke tujuh, dan juga ilham dari senyum bapak di baliho tepi jalan, saya kok yah mulai suka bettul dengan lagu Nella Kharisma. Lirik-lirik di lagu Jaran Goyang itu, memang seperti ada unsur magisnya. Saya mulai lapar saat tidak makan, sering ingin tertidur jika sedang mengantuk, dan sungguh ini yang paling mengganggu lagi menyebalkan, saat saya harus terkoneksi dengan internet, tapi yah kok susah sekali? Padahal dicek, kuotanya memang sudah habis. Ada apa ini?

"Asssuuh! Kamu kok jadi bego toh, Maas?"

Kali ini suara itu bukan dari Nella Kharisma. Tetapi dari Cak Malik, lelaki yang disebut-sebut sebagai suaminya.

Namun, saya kembali buru-buru terjaga, itu hanya lamunan belaka. Sungguh lamunan yang tak produktif, tak progresif, alih-alih bersignifikansi sosial.

Sekian penyanyi lain, memang pernah merilis ulang lagu Jaran Goyang ke dalam berbagai versi. Tapi yang dipopulerkan oleh Nella Kharisma, sungguh masih sangat lekat unsur Jawa Timurnya. Yang tentu saja, bahasa Jawa di lirik lagu itu masih sekental susu cap enak. Dan kemagisan lagu ini, sekali lagi, seperti terbukti. Bahwa betapapun kami ber-suku Bugis Mandar, kami tetap tak mengerti artinya. Aneh kan?

"Aneh ndasmu!"

Itu bukan suara Nella Kharisma atau Cak Malik. Itu suara hatiku sendiri.

Lalu saya mulai berselancar untuk mencari arti dan mengerti makna dari lagu ini. Sebuah lagu, yang judulnya itu, sebenarnya pertama kali saya dengar dari grup balap taksi motor lokal Wonomulyo, sekitar setahun lalu. Tahu taksi motor? Ituloh, sejenis motor trail modifikasi, yang punya kekuatan mengangkut gabah kaum marhaen.

Tapi belum juga mendapati artikel yang mengulas arti lagu ini, saya malah terhenti pada sebuah situs web yang mengulas tentang Nella Kharisma dan unsur mistis di lagunya. Situs web tersebut, mengutip sebait lirik dari lagu Jaran Goyang, seperti di bawah:

Kalau tidak berhasil, pakai jurus yang kedua. Semar mesem namanya, jaran goyang jodohnya. Cen rodok ndagel syarate, penting di lakoni wae. Ndang di cubo, mesthi kasil terbukti kasiate, genjrot.

Konon, lirik di atas dipercaya merujuk pada ajian Jaran Goyang yang biasa digunakan masyarakat Osing Banyuwangi, Jawa Timur. Ajian Jaran Goyang, konon dapat menaklukan hati orang yang diinginkan. Siapa pun yang terkena akan mengalami kasmaran bahkan sampai berperilaku seperti orang gila.

Saya cukup serius membaca ulasan situs tersebut, tapi pelan-pelan, ingatan saya merangkak pada kenangan cinta masa lalu--Pada si gadis ayu kawan SMP yang bersuku Jawa itu. Mungkinkah Ia menggunakan ajian Jaran Goyang? Sebab dulu, saya begitu menggilainya. Terjebak kangen, sampai jadi susah melihat telinga sebelah kiri. Apalagi ketika ditinggal merried, di cermin, saya jadi sering melihat bayangan sendiri. Namun sebelum menjadi prasangka yang sangat bodoh, saya kembali melanjutkan bacaan, dan terpaku pada kalimat:

Jaran Goyang merupakan ilmu Jawa kuno yang diwariskan secara turun-menurun. Pengaruh yang dihasilkan energi Jaran Goyang akan mempengaruhi alam bawah sadar orang lain.
Untuk melakukan ajian jaran goyang, biasanya diharuskan untuk melakukan puasa mutih selama 40 hari 40 malam. Pada malam terakhir harus diakhir dengan Pati Geni, atau menghilangkan segala nafsu sementara.

Saya keluar dari situs web tersebut, tanpa membaca lagi referensi lain yang berbaris di halaman mesin pencari google. Dalam hati saya berbisik, jangan-jangan, lagu Nella Kharisma ini, memang betul punya daya magis? Saya kok mulai bau asem? Padahal belum pernah mandi.

Nella Kharisma: Biduanita asal Jawa Timur yang mempopulerkan lagu Jaran Goyang


Senin, 23 Oktober 2017

Berkenalan dengan QASIMA

Membincang dangdut kontemporer, tentu tidak afdol jika tak menyebut nama Via Vallen. Penyanyi pendatang baru yang sukses meraih predikat sebagai Pedangdut Terpopuler, pada ajang  Indonesian Dangdut Awards, beberapa waktu lalu.

Pelantun tembang "Sayang" ini, tidak sendirian menggebrak kerasnya persaingan jagad dangdut Tanah Air. Ada juga Nella Kharisma; Biduan cantik yang selalu berhasil menggoyang penontonnya dengan salah satu lagu andalan, "Jaran Goyang".

Keduanya tidak saja dikenal sebagai pedangdut muda yang sama-sama berasal dari Jawa Timur. Via dan Nella, juga berkiprah dalam genre dangdut yang sama. KOPLO. Keduanya juga memiliki suara yang begitu renyah, paras manis dan postur semlohai, dan tentu saja, goyangan yang sedikit lebih elegan dan bernafaskan millenial. Sebuah goyangan yang mencoba keluar dari pakem goyang dangdut Koplo ortodox. Mulai dari goyang ngebornya Inul Daratista, goyang gergaji ala Dewi Persik, dan goyang panas dari segala yang panas; goyang hots ala Duo Serigala.

Sebagai peletak dasar musik dangdut koplo, (yang kemudian setelahnya banyak melahirkan pedangdut populer dalam genre yang sama), Inul Daratista, tentu telah menunjukkan keberhasilan nyata atas perjuangannya yang berdarah-darah menghadapi konflik dengan Rhoma Irama. Sang Raja, yang menjadikan musik dangdut sebagai medium dakwah itu, pernah begitu murka dengan apa yang ditampilkan Inul. Menurutnya, goyangan yang dipertontonkan Inul Daratista, dapat merusak citra musik dangdut. Rhoma pun pernah mengusulkan, agar Inul Daratista tidak mengatasnamakan dangdut pada isme bermusik yang diusungnya. Namun toh Inul tetap bergoyang. Dan kini menjadi salah pedangdut paling sukses di Tanah Air.

Sebagai salah satu musik yang merakyat, tentu Dangdut telah melewati banyak pergulatan dalam perkembangannya. Via Vallen dan Nella Kharisma yang telah menggoyang hari-hari kita,  tidak dapat dikatakan sebagai klimaks dari perjalanan musik ini. Bisa jadi, dramanya malah kian panjang.

Kalian tahu? Ada satu kelompok musik, yang mungkin agak terlambat saya temukan, namun menurut saya cukup begitu menarik. Sekelompok perempuan muda berhijab yang menamakan diri sebagai grup Qasidah Irama Melayu, a.k.a QASIMA. 

Sangat iyunik menurutku. Apakah ini sebuah pertanda akan adanya "Purifikasi" pada musik andalan ini? Mari bertanya pada Bang haji. Haagh....






Minggu, 24 September 2017

Untuk Perempuan yang Sedang di Pelukan

Ijinkan aku menyapamu, Baby! Gadis yang sekian bulan akan datang genap berusia 23 tahun. Sebuah bilangan usia yang mempertegas bahwa kau memang sedang cantik-cantiknya. Bilangan yang seganjil hasratku meratapi kebersamaanmu dengan seorang pria yang jelas lebih kekar dari aku itu.

Beib! Sejak pilihan kau jatuhkan kepadanya, kini malam tak lagi berbintang. Mungkin karena sang bintang jengah dengan janjimu untuk sendiri dulu ibarat ludah yang kini haris kau jilat sendiri.
Tentu aku terlalu atas tuduhan itu. Tuduhan yang mungkin tak berdasar dan hanya mengorek kepedihan masa lalu. Tuduhan yang mungkin sejenaka pernyataan satu mantan jenderal bahwa di Republik ini masih tersisa 60 juta anggota dan simpatisan PKI yang mengancam eksistensi pemerintahan Jokowi.

Aku tidak sedang cemburu, Beib!
Apalagi berpikir akan merancang gerakan 30 September untuk mengkudetamu dari pelukannya. Aku sungguh bersyukur bahwa pilihanmu tidak hanya mengandalkan perasaan, melainkan menyertakan logika dan pandangan empirik, bahwa pria itu yang jelas lebih mapan. Lihat kalungnya! Itu pasti emas sekian karat yang akan menjamin masa depanmu bersamanya.

Dibanding Aku mungkin yang hanya memiliki segumpal cinta yang tak pernah utuh. Jangan kau tanya harta! Aku hanya punya cangkul dan sabit karatan.

Beib! Aku tahu, sebagai perempuan biasa, tentu kau berhitung-hitung masa depan. Apa yang bisa kau hitung dari buruh tani seperti aku? Yang setiap panen wajib membagi hasil pada yang empunya lahan. Lalu sibuk menghitung berapa biaya produksi, ongkos tanam, biaya pupuk, dan embel-embel lainnya. Lalu setelah kusamadengan di kalkulator, bagianku sebagai penggarap hanya cukup untuk melunasi hutang. Itu jika hasil panen bagus. Kamu tahu, Beib? Di sini, sudah tiga musim berturut-turut petani megap-megap. Harga dan hasil panen anjlok. Bahkan petani di sebelah, hanya mampu menghasilkan 7 karung gabah dalam luasan lahan 1 ha. Kalkulator tidak lagi digunakan untuk menghitung keuntungan, tapi berapa jumlah kerugian. Sudikah kiranya kau hidup dalam keadaan yang demikian itu, Beib? Jika aku wanita seperti kau pun, mungkin aku akan ber-istikharah dulu untuk menjawab, YA!

Hari ini tentu saja ucapan selamat kuucapkan kepadamu. Kau bijak menjatuhkan pilihan, Beib! Selain mapan nan rupawan, pria itu jelas bukan komunis. Juga tentu bukan proletar yang berjuang menumpas ketimpangan kelas. Aku pun bukan keduanya, Beib! Sudah kukatakan, aku ini buruh tani. Jika pun kau harus mengistilahkan, namai saja aku Mustadl'afin. Masyarakat bawah yang terpinggirkan!
Jadi tak usah tak enak hati dengan keputusan yang kau buat, Beib! Aku memang telah ditakdirkan sebagai Mustadaafin; Terpinggirkan dalam sistem, juga terpinggirkan dari sisimu.

Sesungguhnya aku telah jenuh dengan keterpinggiran ini, Beib! Telah cukup lama aku harus bergulat dengan kerasnya hidup. Tentu aku tidak sendiri, Beib! Petani lain pun sepertinya tahu betul, kehidupan yang dijalani ini keras. Coba perhatikan, Beib! Berapa banyak keluarga petani yang berusaha menyekolahkan putra-putri mereka setinggi-tingginya. Untuk apa? Yah agar anak-anaknya tidak jadi petani! Jauh di pengharapan mereka, anak-anaknya bisa jadi Dokter, Polisi, Tentara, Pengusaha, PNS, atau apa saja yang penting jangan Petani! Sedikit horor sih memang. Tapi mau bagaimana lagi? Petani juga manusia. Punya rasa punya hati. Jangan samakan dengan nonton bareng film G/30/S/PKI.

Tapi ucapan selamat bukan saja wajib kusampaikan kehadiratmu, Beib! Hari ini hari Tani Nasional. Aku pun harus mengirim ucapan selamat ke pada segenap petani di negeri ini. Meski rasa-rasanya sangat absurd mengucapkannya di layar smartphone. Ya iyah! Pak Tani dan Bu Tani apalagi yang gurem itu, jarang bersosial media, Beib! Mereka masih terlalu sibuk bekerja untuk sekedar menyambung hidup, alih-alih buka pesbuk dan bikin status "selamat hari tani" dengan rangkaian diksi yang paling keren.

"Loh, terus kamu ini siapa? Tadi Kamu bilang dirimu buruh tani gurem, loh kok malah main pesbuk, sudah itu banyak bacot pula? Jawab!"

Aku PKI, Beib!
Pria Kudisan Indonesia

Foto.net

Kamis, 07 September 2017

Jejak Pertanian Alami di Ubun-ubun Tanete

Hawa dingin musim kemarau mulai menusuk kulit malam itu. Suara jangkrik entah dimana, bergantian bersahutan dengan serangga nocturnal lainnya. Di satu rumah warga di perkampungan yang dikepung bukit-bukit hijau--Bapa Junjung, Bapa Husni, dan beberapa petani lain nampak larut dalam sebuah perbincangan.

Selain tape ketan dan kopi hitam terhidang di depan mata, dinginnya malam itu juga dihangatkan dengan obrolan seputar keseharian mereka sebagai petani kakao. Sembari mengepulkan asap tembakaunya, sesekali terselip kalimat bernada curahan hati--ihwal musim panen yang tak seindah harapan, ataupun harga kakao yang kian anjlok di pasaran.

Tanete, dalam sebutan beberapa bahasa daerah di Sulawesi Selatan dan Barat, dapat diartikan sebagai "puncak" atau "dataran tinggi". Mungkin demikian juga maksud penamaan wilayah yang terletak di barisan perbukitan desa Amola kecamatan Binuang kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat, ini.

Berada di daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan, Tanete adalah wilayah yang cukup subur. Bahkan dulu, sebelum menjadi perkebunan kakao, wilayah ini adalah salah satu penghasil kopi terbaik di Polewali Mandar.

Namun satu tragedi di dekade 60-70an, telah merubah arah peradaban tani wilayah ini. Tanaman kopi warga, yang menurut cerita Bapa Junjung dan Bapa-Bapa lainnya malam itu, rusak akibat penggunaan pestisida sintetis. Walhasil, petani beralih menanam kakao hingga saat ini.

Dimoderatori pemoeda gondrong, boeng Noerdien Chambaliwali, obrolan malam itu kian menukik ke akar persoalan yang tengah dihadapi pak-bapak tersebut. Bergantian mereka mengeluarkan argumentasi yang bisa dibilang kihitis.

Diantaranya yang saya cacat, eh catat, bahwa penggunaan input kimia dalam metode pertaniannya selama ini, belum memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan yang kini dihadapi.  Buah kakao keras saat musim kemarau. Buah busuk saat musim hujan. Padahal segala macam merek pestisida sudah digunakan. Biaya besar untuk pupuk telah dikeluarkan. Tapi toh hasil tetap demikian. Kadang lebih besar pasak dari pada tiaN.

Tanah di kebun yang kian hari kian berubah mengeras, juga ditengarai merupakan dampak penggunaan pupuk dan pestisida sintetis--yang secara jangka panjang baru mulai terasakan.
Membandingkan kondisi tanah masa lalu yang masih perawan dari jamahan pestisida dan pupuk sintetis made in perusahaan, menurut mereka, kondisi tanah sekarang menjurus memprihatinkan.

Sebagai pendengar setia obrolan malam itu, saya hanya bisa berujar "Uigh uigh uighh...." sambil sesekali meneguk kopi dan mencuri-curi tape ketan.

Suasana Diskusi santai dengan warga Tanete. Cerita-cerita reflektif mereka malam itu memberikan banyak pelajaran. Sekedar info, Tape ketan hitam itu sungguh nikmat sekali

Di awal-awal menjalani metode pertanian konvensional, dimana pupuk dan pestisida menjadi bintang utama, hasil yang diperoleh memang cukup menjanjikan. Tapi itu hanya dua tiga kali. Lambat laun, hasil produksi malah semakin menurun. Panen yang membahagiakan, menurut mereka, terakhir dirasakan di tahun 2006 silam.

Masuknya metode pertanian konvensional yang menggunakan input kimia ini, juga dikisahkan secara reflektif oleh bapak-bapak petani, telah mengubah keadaan sosiologis masyarakat desa cenderung menjadi individualis.

Pasalnya, di Tanete jaman dahulu terdapat kearifan lokal yang dikenal dengan istilah Massiallo. Sebuah tradisi kolektif, bergotong royong dan saling membantu mengerjakan lahan pertanian secara bergantian. Namun perlahan-lahan petani mulai meninggalkan tradisi tersebut, sebab kehadiran pestisida sintetis dirasa lebih efesien dan efektif. Artinya, petani mulai mengerjakan lahannya secara self to self

Entah karena membutuhkan obat pelipur lara, ataukah bapak-bapak petani malam itu memang telah tiba pada kesadaran kritis dalam pergulatan pengalaman bertani dalam kesehariannya, yang jelas, masalah yang dihadapi petani di Tanete dan petani di wilayah lain pada umumnya mengindikasikan bahwa dunia pertanian kini satu butuh tarekat baru menyongsong hari esok yang lebih baek.


                                      ***


Satu orang warga yang telat bergabung dalam obrolan malam itu, datang dan berujar:
"Kami ini sebagai petani, berpikir dengan mata!"

Satu kalimat yang kembali membakar obrolan di tengah dinginnya malam yang semakin larut.

Di Tanete, ataupun di tempat lain seperti di kampung saya yang mayoritas sebagai petani padi, sesungguhnya mempunyai kecenderungan telah menyadari bahwa pertanian dengan input kimia, memang membutuhkan modal produksi yang besar. Padaha tidak juga ada perubahan hasil yang signifikan. Soal dampak kesehatan maupun lingkungan, juga kian dinsafi. Namun, belum ditemukannya solusi yang dianggap lebih baik (dalam hal ini, metode pertanian, yang dampak perubahannya langsung terlihat. Alih-alih hegemoni penggunaan input kimia yang terlanjur massif dan mengakar) maka mereka masih tetap menjalankan pertanian konvensional dalam kondisi yang tak jarang gamang.

Menghubungkan pernyataan bapa petani yang "masbuk" tadi, jika mereka konon "berpikir dengan mata", maka alternatif solusi permasalahan mereka yang ditawarkan metode Pertanian Alami atau Natural Farming (NF) misalnya, mungkin sebaiknya mesti dibuktikan terlebih dahulu.


                                   ***


Anwar Khadafi (27), adalah salah satu petani muda dan petani penggerak di Tanete. Kerja-kerja pertanian alami yang hampir sembilan bulan dilakoninya, mulai menampakkan hasil. Pemuda yang mendapat pengetahuan dan keterampilan bertani alami dari Salassae-Bulukumba-Sulawesi Selatan-tersebut, banyak memperkenalkan metode Natural Farming (NF) bersama aktivis Tani lainnya di Polewali Mandar.

Pasang surut pergerakan pemuda yang menyandang gelar sarjana Ilmu Sosial ini, seperti telah menemukan momentum. Di lahan miliknya, kurang lebih 6000 pohon cabe tumbuh subur dan mulai berproduksi. Tentu saja cabe-cabe-an tersebut dirawat dengan metode NF.

Anwar Khadafi, salah satu petani muda dan penggerak pertanian alami Polewali Mandar. Praktik bertani alaminya sudah mulai menampakkan hasil. Jika dalam waktu dekat harga cabai kembali melambung mahal, dipastikan beliau terancam kaya.

Lahan yang terletak di kemiringan bukit Tanete itu, menjadi laboratorium pengaplikasian keterampilan bertani alami yang dimilikinya.
Pada pagi hari, saat buah cabe rawit merah merona berkilau terpapar cahaya matahari, lahan tersebut berhasil mengalihkan fokus dan pandangan petani lainnya yang berangkat ke kebun atau ladang masing-masing. Sebuah strategi, bahwa kampanye metode alternatif harus menjawab keadaan petani yang mayoritas menginkan hasil atau perubahan yang dapat mereka lihat secara real.

Bebas dari input kimia. Kurang lebih 6000 pohon cabe rawit ini dirawat dan dibesarkan dengan perlakuan alami. Jika petani lain melintasi lahan ini, katanya mereka suka heran. Sebab dalam situasi kemarau saja, penampakan cabe ini begitu istimewah.

Argumentasi ini tentu bukan sekedar praduga. Bapak Junjung, yang juga sekaligus tetangga ladang Anwar, punya cerita mengapa akhirnya belio memilih mengikuti jejak anak moeda ini.

Berkali-kali gagal dengan tanaman cabenya yang dikelola dengan input kimia, bapak Junjung tiba pada kodratnya sebagai manusia biasa. Ia hampir saja menyerah. Namun, saat tanaman yang keempat kalinya juga hampir gagal, dimana tanaman itu seperti tak ada harapan lagi untuk hidup, Bang Anwar Khadafi datang layaknya Ki Astagina dalam kisah Brama Kumbara--memberikan motivasi dan menyelamatkan lahan Pak Junjung dengan jurus-jurus NF. Wassyukurilah, sekarang cabe bapak Junjung sudah siap untuk dipanen.

Pengalaman itu, dan bukti fisik yang dilihat Pak Junjung, membuat dirinya harus membiarkan sekarung pupuk sintetis di rumahnya mengering tak tersentuh lagi--dan bersuka rela membaiyyat dirinya sebagai pengikut Anwar.

Bahkan bukan hanya di ladang cabe miliknya; metode NF yang mulai diketahui sedikit demi sedikit dari beberapa pelatihan dan praktek yang dibagikan oleh Anwar, juga telah diaplikasikan di kebun kakao-nya. Menurut cerita bapak Junjung malam itu, ada perubahan yang cukup besar. Kakaonya kini berdaun lebih hijau, dan buahnya tampak lebih berseri-seri. Ah, sayang sekali tak ada kesempatan menengoknya siang itu.

Begitupun dengan bapak Husni dan beberapa petani lainnya. Lewat pendampingan dan diskusi intens yang dilakukan Anwar, bapak-bapak petani ini mulai tertarik dengan konsep bertani alami.

Selain Bapak Junjung yang sudah mantap untuk belajar berpraktek pertanian alami, petani yang intens berdiskusi dan berbagi pengalaman adalah bapak Husni. Hari itu beliau mengenakan baju bergambar pohon beringin. Partai penguasa Orba yang mencetuskan kebijakan revolusi hijau untuk pertanian di Indonesia. 

Pertanian Alami sendiri adalah metode bertani yang bervisi mendaulatkan petani dari ketergantungan terhadap input kimia seperti pupuk atau pestisida sintetis dari perusahaan. Alternatif pertanian yang lebih ramah lingkungan, sebab bahan-bahan pengganti pestisida ataupun pupuk kimia tersebut dibuat dari bahan-bahan sekitar yang kemudian difermentasi menjadi mikroba.

Dari jenis mikroba yang ada, akan diracik satu sama lain ataupun dicampur dengan bahan-bahan khusus seperti jantung pisang yang mengandung nitrogen--pupuk kandang yang mengandung senyawa tertentu--dan bahan-bahan alami lainnya yang punya kandungan zat yang dibutuhkan tanah dan tanaman. Tentunya secara teknis, kawan-kawan pegiat NF inilah yang dapat memberikan penjelasan lebih apiek.

Herbal dan nutrisi alami. Dibuat dari racikan jenis-jenis mikroba dan bahan-bahan alami lokal yang bisa di dapatkan di lingkungan sekitar. Seperti jantung pisang, pepaya masak, tulang belulang; dan masih banyak lagi bahan lainnya yang memiliki unsur yang dibutuhkan tanah dan tanaman. Kalo cewek yang katanya langsung mau dilamar saja tapi nyatanya berpacar-pacaran juga, apakah bisa dijadikan mikroba? Ups, dari wawancara singkat, diketahui jika gula merah adalah bahan vital dalam pembuatan herbal dan nutrisi alami ini, Cok!.

Namun, menurut kawan-kawan aktipis ini, konsep dan tujuan pertanian alami bukan hanya sibuk untuk berkutat pada persoalan itu. Lebih jauh, ada hal yang dianggap penting untuk mewujudkan kedaulatan petani dan perubahan sosial itu sendiri--dengan pertanian alami sebagai "tarekatnya". Selengkapnya, anda bisa membaca referensi bagus soal POKOK-POKOK PERTANIAN ALAMI

Anwar dan komunitas kecil yang mulai terbentuk di desanya ini, tidak hanya terpaku pada resep-resep paten yang telah Ia ketahui. Anwar terus berkreatifitas sebagai petani sekaligus pendamping--dengan aktif berdiskusi dan memantik pengetahuan dan pengalaman petani untuk kembali menggali kearifan-kearifan lokal yang pernah dipraktekkan oleh leluhur mereka dulu. Seperti misalnya pemanfaatan tumbuhan lokal yang memiliki khasiat untuk tanaman. Tumbuhan yang dulu pernah digunakan untuk mengusir hama, dan lain sebagainya. Dari proses itu, kini Anwar dan petani lainnya telah menemukan beberapa tumbuhan lokal yang dapat dibuktikan keampuhannya.

Jauh lebih dalam, Anwar berharap bahwa kerja-kerja pertanian alami yang digelutinya saat ini, dapat mengantarkan pada kembalinya nilai-nilai kearifan lokal lain yang pernah membumi--seperti misalnya tradisi Mangngallo. Semangat dan nilai gotong-royong yang terkandung di dalamnya, dirasa Anwar dan juga petani lain yang mengobrol malam itu, dapat menumbuhkan kembali sikap kolektivitas warga desa yang kini mulai redup ditikam zaman.

Visi besar dikemudian hari adalah bahwa dengan adanya komunitas yang terbentuk, warga desa akan dapat saling mendukung dan bekerja sama untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian sebagai petani ke dalam realitas kehidupan mereka.

Sebuah harapan dan cita-cita besar dari para pegiat pertanian alami di ubun-ubun Tanete--Sekaligus menjadi pembelajaran dan inspirasi untuk kita orang yang pernah gagal sebelum menanam.

Akhirnya, selamat menanti kenaikan harga cabe, sehat terus dan sukses selalu, Bang!

Selain mulai sibuk memanen. Anwar dkk berencana akan menambah luasan areal tanaman cabenya. Juga sekaligus akan melakukan praktik dan pendidikan untuk warga desa yang lain, bersama dengan pegiat pertanian alami lainnya di Polewali Mandar.*


NB: Jika berkunjung ke ladang cabe menggugah selera seperti ini, jangan lupa bawa tahu isi.

Sabtu, 15 Juli 2017

CEKRECK; Sebuah Memoar Singkat di Hari Wisuda

Ok, baik! Kita akan saling membiarkan merayakan prosesi wisuda sarjana XV Unasman kali ini. Silah kita tuntaskan ragam ekspresi dengan selfa selfi sana sini. Tentu saja itu manusiawi.

Proses yang dilalui selama di Universitas yang konon terbesar di jagad Sulawesi Barat ini (faktanya memang menjadi pemenuh syarat berdirinya Sulbar), selain nuikmat, tentu saja melelah dan mempercapekkan. Hinggalah wajar, jika klimaksnya hari ini adalah orgasme rasa yang anggap saja tidak dapat diucapkan dengan kata-kata--kecuali..."Agh!"

Tentu saja rasa mengharu biru. Disorot ribuan pasang mata penuh espektasi (kalo nda percaya hitung ndiri). Pada harapan orang-orang tua yang ingin melihat anaknya 'sukseis'. Sukses dengan ragam perspektif, sesuai latar belakang dan kecenderungan paradigma duniawi yang membentuknya.

Pada ujung asa, ada harapan dengan selesainya proses wisuda sarjana dengan seperangkat atribut toga dibayar tunai, kelak anak-anaknya mendapat kehidupan lebih baik. Terhindar dari kesuraman masa depan serta mendapat kejayaan hidup fiddunniya wal akhirat.

Ada harapan, dengan selesainya para ananda bolak-balik kampus rumah kampus, kelak mereka segera bekerja ditempat lebih kece. Jauh dari lumpur dan terhindar dari debu jalanan yang bisa membuat wajah dijajah komedo.

Tak terhindar kemungkinan, bahwa tangis pecah oleh sekian pasang mata, adalah sublimasi dari dendam kejelataan menjadi kebanggaan--atas tak terkalahkannya mereka pada realitas pendidikan di negeri yang tak kunjung murah--serta hanya dinikmati oleh kaum borduith. Mensejajarkan anak-anak mereka dengan wisudawan lain--dengan toga di badan dan mortarboard di kepala. Setara!

Namun tentu saja, pada pikiran lebih bijak dan terbuka yang dimiliki ibu bapak hadirin sekalian, bahwa para sarjana ini tidaklah hanya dibayangkan pada persolan-persoalan itu. Lebih jauh dan maha penting, bagaimana ilmu yang telah ditimba pada sumur universitas, dapat membumi dan bermanfaat untuk manusia lain; Apapun profesinya dan dimanapun lumpur serta debu-debunya berada. Espektasi moderat ini mungkin yang dapat membuat sarjana malam ini dapat tertidur sedikit lebih nyunyak.

Kemeriahan wisuda sarjanana yang ceria bak lagu terajana ini kita cukupkan sehari saja. Merayakannya tujuh hari tujuh malam dengan hiburan musik caiyya-caiyya dipadu itik palakko dan tuak literan, kami anggap tindakan kurang ajar dan perilaku durjana. Yah bagus jika jaman kuliah rajin masuk kampus bukannya asyik ber-indehoi di indekos. Yah cucok, kalo jaman kuliah skripsi bikin ndiri bukannya dicopast kan mantan.

Malam ini mari kita tidur nyenyak. Jauhkan kuping dari lagu-lagu Iwan Fals yang sarkastik tapi ngena.
"Resah mencari kerja modal ijazah, 4 tahun lamanya bergelut dengan buku, sia-sia semuanya!"
Nada pesimis bung Iwan pada ribuan sarjana yang diwisuda tiap tahun, dan seringkali hanya berakhir di ranjang pengangguran. Sebuah pesimisme yang tentu saja tidak berlaku pada mahasiswa yang kuliahnya 6 sampai 7 tahun, seperti saya. hahah

Namun, seperti kata Annangguru K.H Syibli Sahabuddin dalam sambutannya siang tadi, bahwa harapan dan optimisme harus selalu ada. Segenap ilmu yang diperoleh selama kuliah adalah pegangan untuk masuk pada universitas yang sesungguhhnya; Universitas Kehidupan!
Sebuah penegasan eksplisit, bahwa tugas manusia untuk terus belajar, tak pernah The End.

Akhirnya, selamat berbahagia sekaligus bergalau ria wahai para sarjana muda!
Oh yah, sebelum kita bobo, mari sekali lagi berselfi dengan sisa aroma toga di tubuh. Cekreck.


 1
2
3
4
5

semacam keterangan:

1. adalah baliho ucapan selamat yang dibuat atau diinisiasi oleh Amri Cicero dan Saharuddin Torus. dua orang adik tingkat yang jadi sahabat dan teman tidak waras--yang membersamai kami (orang-orang yang fotonya terpampang) dalam bergelut dengan tugas akhir skripsi. Sebagai orang-orang yang terancam DO, perjuangan agar bisa selesai dengan segala kepusingannya itu, tentu saja sangat senang dengan apa yang diberikan oleh kedua mahluk tersebut. 

2. adalah kepingan gambar dari suasana yang terjadi di gedung acara. Sengaja saya cantumkan, karena ketidakjelasannya!

3. adalah seorang wisudawan, yang seperti wisudawan lainnya sedang berselfi ria. Dari bahasa tubuhnya, seperti ada sesuatu yang mengganjal. Yah, benar. Dia lapar!

4. adalah seorang perempuan tangguh yang membesarkan keenam anaknya dengan berdikari. Itu dilakukannya ketika seorang laki-laki dewasa di sampingnya belum genap berusia dua tahun. Bagi laki-laki itu, perempuan tangguh inilah yang menjadi alasan, mengapa semuanya harus di selesaikan hingga foto ini hadir.

5. adalah seorang perempuan sedang memeluk anaknya yang hari itu jadi lulusan terbaik dengan nilai cumlaude. Mungkin tangisannya pecah ketika menyadari semua keadaan untuk hari ini yang ia jalani serba tidak mudah.  Perempuan yang Ia peluk bersama dengan laki-laki di samping wanita tangguh, adalah dua orang di keluarga yang pertama kali bisa menyelsaikan pendidikan di perguruan tinggi.