Beib! Sejak pilihan kau jatuhkan kepadanya, kini malam tak lagi berbintang. Mungkin karena sang bintang jengah dengan janjimu untuk sendiri dulu ibarat ludah yang kini haris kau jilat sendiri.
Tentu aku terlalu atas tuduhan itu. Tuduhan yang mungkin tak berdasar dan hanya mengorek kepedihan masa lalu. Tuduhan yang mungkin sejenaka pernyataan satu mantan jenderal bahwa di Republik ini masih tersisa 60 juta anggota dan simpatisan PKI yang mengancam eksistensi pemerintahan Jokowi.
Aku tidak sedang cemburu, Beib!
Apalagi berpikir akan merancang gerakan 30 September untuk mengkudetamu dari pelukannya. Aku sungguh bersyukur bahwa pilihanmu tidak hanya mengandalkan perasaan, melainkan menyertakan logika dan pandangan empirik, bahwa pria itu yang jelas lebih mapan. Lihat kalungnya! Itu pasti emas sekian karat yang akan menjamin masa depanmu bersamanya.
Dibanding Aku mungkin yang hanya memiliki segumpal cinta yang tak pernah utuh. Jangan kau tanya harta! Aku hanya punya cangkul dan sabit karatan.
Beib! Aku tahu, sebagai perempuan biasa, tentu kau berhitung-hitung masa depan. Apa yang bisa kau hitung dari buruh tani seperti aku? Yang setiap panen wajib membagi hasil pada yang empunya lahan. Lalu sibuk menghitung berapa biaya produksi, ongkos tanam, biaya pupuk, dan embel-embel lainnya. Lalu setelah kusamadengan di kalkulator, bagianku sebagai penggarap hanya cukup untuk melunasi hutang. Itu jika hasil panen bagus. Kamu tahu, Beib? Di sini, sudah tiga musim berturut-turut petani megap-megap. Harga dan hasil panen anjlok. Bahkan petani di sebelah, hanya mampu menghasilkan 7 karung gabah dalam luasan lahan 1 ha. Kalkulator tidak lagi digunakan untuk menghitung keuntungan, tapi berapa jumlah kerugian. Sudikah kiranya kau hidup dalam keadaan yang demikian itu, Beib? Jika aku wanita seperti kau pun, mungkin aku akan ber-istikharah dulu untuk menjawab, YA!
Hari ini tentu saja ucapan selamat kuucapkan kepadamu. Kau bijak menjatuhkan pilihan, Beib! Selain mapan nan rupawan, pria itu jelas bukan komunis. Juga tentu bukan proletar yang berjuang menumpas ketimpangan kelas. Aku pun bukan keduanya, Beib! Sudah kukatakan, aku ini buruh tani. Jika pun kau harus mengistilahkan, namai saja aku Mustadl'afin. Masyarakat bawah yang terpinggirkan!
Jadi tak usah tak enak hati dengan keputusan yang kau buat, Beib! Aku memang telah ditakdirkan sebagai Mustadaafin; Terpinggirkan dalam sistem, juga terpinggirkan dari sisimu.
Sesungguhnya aku telah jenuh dengan keterpinggiran ini, Beib! Telah cukup lama aku harus bergulat dengan kerasnya hidup. Tentu aku tidak sendiri, Beib! Petani lain pun sepertinya tahu betul, kehidupan yang dijalani ini keras. Coba perhatikan, Beib! Berapa banyak keluarga petani yang berusaha menyekolahkan putra-putri mereka setinggi-tingginya. Untuk apa? Yah agar anak-anaknya tidak jadi petani! Jauh di pengharapan mereka, anak-anaknya bisa jadi Dokter, Polisi, Tentara, Pengusaha, PNS, atau apa saja yang penting jangan Petani! Sedikit horor sih memang. Tapi mau bagaimana lagi? Petani juga manusia. Punya rasa punya hati. Jangan samakan dengan nonton bareng film G/30/S/PKI.
Tapi ucapan selamat bukan saja wajib kusampaikan kehadiratmu, Beib! Hari ini hari Tani Nasional. Aku pun harus mengirim ucapan selamat ke pada segenap petani di negeri ini. Meski rasa-rasanya sangat absurd mengucapkannya di layar smartphone. Ya iyah! Pak Tani dan Bu Tani apalagi yang gurem itu, jarang bersosial media, Beib! Mereka masih terlalu sibuk bekerja untuk sekedar menyambung hidup, alih-alih buka pesbuk dan bikin status "selamat hari tani" dengan rangkaian diksi yang paling keren.
"Loh, terus kamu ini siapa? Tadi Kamu bilang dirimu buruh tani gurem, loh kok malah main pesbuk, sudah itu banyak bacot pula? Jawab!"
Aku PKI, Beib!
Pria Kudisan Indonesia
Foto.net |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar