Daftar Blog Saya

Senin, 04 Mei 2020

Puasa: Antara Shaum dan Shiyam

Gbr. net

"Wahai pemuda, siapa yang mampu menikah, maka menikahlah, karena sungguh hal tersebut lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang tidak mampu (menikah) maka hendaklah ia berpuasa, karena (puasa menjadi) pengendali baginya." (H.R. Bukhari).

Hadits di atas cukup sering dikutip para muballigh saat ceramah tarwih di masjid kampungku. Dulu tapi -- sebelum korona merenggut indah dan semaraknya ibadah malam Ramadhan di masjid.

Bahkan kutipan ini kudengar saat testosteron dalam diriku belum pula aktif alih-alih menuntut sebuah revolusi; alias belum puber karena  masih SD. Jadi manalah aku paham substansi ceramahnya Pak Ustad waktu itu.

Namun, satu hal yang membuatku selalu betah duduk berlama-lama setiap ceramah tarwih adalah karena pada dasarnya sejak kecil aku telah mencintai majelis ilmu (warbiasah). Dan terakhir kusadari bahwa kecenderungan kepribadianku sepertinya adalah seorang introvert; lebih suka mendengarkan (ceramah) ketimbang berbicara. Typecal lelaki yang sungguh sangat tepat dijadikan sandaran sekaligus westafel untuk memuntahkan segala uneg-uneg dan permasalahan hidupmu (baca: dramamu dengan pasanganmu)

Tapi bukan nostalgia itu yang hendak kusampaikan, wahai, Ukhti!

Sebab malam tadi, setelah mengingat pesan muballigh seperti kutipan hadits di awal, rasanya aku ingin mengafirmasi ulang informasi dan pengetahuanku tentang puasa ialah ihwal tahan-menahan.

Maka terdamparlah aku pada situs web (pak) Prof. Quraish Shihab. Membaca satu tulisan di sana, dan mengutip:

[Ada orang yang mempersamakan maksud kata shaum dan shiyam. Sebenarnya tidaklah demikian, kendati keduanya dari segi bahasa berarti menahan.  Shiyam adalah menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seks demi karena Allah sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Inilah yang ditunjuk antara lain oleh QS. al-Baqarah [2]: 183 dan yang atas dasarnya umat Islam berpuasa sepanjang bulan Ramadhan. Sedang shaum digunakan al-Qur’an untuk makna menahan diri tidak  mengucapkan sesuatu yang tidak berguna walau sesuatu itu benar]

Tentu saja aku mendapatkan satu pemahaman baru. Ada perbedaan denotasi antara dua term itu: shiyam dan shaum.

Hal tersebut juga diulas oleh (pak) Dr. Sabara Nuruddin dengan lebih spesifik dalam tulisannya di Seputar Sulawesidotcom beberapa hari lalu. Kukutip beberapa poin:

[Terminologi shiyam adalah perintah menahan dalam konteks kewajiban syariat. Kata shaum disebutkan dalam Alquran ketika Allah memerintahkan Sayyidah Maryam untuk menahan diri dari berbicara berkenaan dengan kelahiran putranya, yaitu Isa as]
[Shaum mempertegas nilai dari perintah shiyam menjadi tidak hanya menahan diri dari makan, minum dan seks, tapi menahan diri dari melakukan kesia-siaan]
[Dapat disimpulkan, shiyam berarti menahan sedangkan shaum konteksnya adalah “menuhan”. Shiyam adalah perintah syariat, sedangkan shaum adalah jalan menggapai hakikat]
[Shiyam bersifat temporer karena dibatasi durasi dari fajar hingga malam dan dilaksanakan pada hari tertentu saja, sedangkan shaum tidak dibatasi oleh waktu atau bersifat permanen]
[Shiyam mengenal berbuka sedangkan shaum tak mengenal berbuka. Shiyam diwajibkan selama sebulan, sedangkan perintah shaum berlaku sepanjang tahun] 
[Perintah shiyam mengenal uzur karena sakit, berhalangan atau dalam perjalanan, sedangkan keuzuran dari perintah shaum hanya berlaku ketika seorang kehilangan akal sehat atau gila]

Tentu saja, setelah membaca itu, lagi-lagi aku merasa tercerahkan. Ada perbedaan-perbedaan yang sekiranya patut direfleksikan.

Maka, dalam tafsir yang lebih personal dan tentu saja ngasal serta tak bertanggung jawab, aku mencoba melakukan semacam 'kontekstualisasi' pada keadaan Ramadhan kali ini. Misal:

✓Memilih untuk sementara waktu tidak beribadah di masjid dalam rangka menghindari kerumunan, adalah juga sebentuk laku menahan. Sebutlah ia adalah kategori 'shiyam'. Sebab ini hanya dilakukan temporer. Hanya sementara. Nanti jika virus koronanya hilang, ibadah berjamaah di masjid bisa kembali dilakukan. Begitupun misalnya pilihan untuk tidak bersalaman dan saling jaga jarak, serta hal-hal lain yang sekiranya telah menjadi imbauan yang berulang-ulang.

✓Pun memilih untuk tidak menikah dulu (bagi yang tidak mampu dari segi apapun), maka anjuran untuk berpuasa (seperti dalam kutipan hadits di awal) adalah jelas sebentuk menahan yang sebenar-benarnya menahan.

Dalam konteks peristilahan seperti yang dijabarkan sebelumnya, menahannya ini adalah kategori 'Shaum'. Sebab waktunya bersifat permanen. Bukanlah menahannya sebatas tempo terbitnya fajar hingga terbenam matahari -- setelah itu mencak-mencak dirasuki libido; misalnya.

Selagi masih tidak mampu (tapi belum gila), yah shaum ini dilakukan sepanjang waktu. Kalau perlu 17 bulan dalam setahun. Sebab bisa jadi, itulah jalan ninjamu menempuh hakikat kejombloan yang HQQ.


Jumat, 05 Juli 2019

Anak dan Realita Kita Sebagai Homo Internetius

Saat membuka akun Instagram, saya menemukan video yang sepertinya lagi viral di jagad maya. Di video itu, terlihat seorang anak yang kira-kira usianya 5-6 tahun, sedang menangis meronta sambil meracau "Tidak ada jaringan, Tidak ada jaringan, Hoaaaa..." Dari caption postingan video itu, diketahui bahwa anak tersebut sedang ikut orang tuanya berkunjung ke rumah keluarga di daerah yang tak dijangkau signal. Lalu pecahlah amarah si bocil sebab tak bisa yutupan juga main game.

Melihat video itu, saya jadi tersenyum (tidak manis) menyadari eksistensi homo internetius seperti saya (dan juga kamu, iyah kamu!) yang demikian sudah sangat bergantung pada internet, perangkat digital, dan satelit-satelit lain yang mengitarinya. Yang membuat senyum saya semakin tidak manis, bahwa ketergantungan itu juga semakin mewabah pada anak-anak kita. Iyah, anak-anak kita!

Ketergantungan yang tentu saja menimbulkan kekuatiran bagi orang tua. Mulai dari soal dampak kesehatan mata anak sebab terpapar radiasi hapes terlalu lama menonton serial Upin-Ipin di YouTube, kesehatan mental anak sebab masih begitu polos ingin meniru gerakan skill ulti Hayabusa di Mobile Legend, hingga kekuatiran soal kekerasan dalam rumah tangga karena bapak dan anak saling berebut hape mau nonton Upin-Ipin; Si anak marah-marah dan akhirnya dikasi skill ulti Hayabusa sama bapaknya.

Saya cukup sering loh mendengar keluhan dari para orang tua tentang bagaimana anak mereka menjadi rewel jika tak dibiarkan bermain hape, "Anu... tappa menangis kalo nda dikasi i...." begitu kata salah satu orang tua yang juga teman saya di suatu malam.

Bukan hanya dari teman, anak-anak dari sodara saya sendiri bukan main rewelnya jika tak diberi hape. Malah salah satu dari mereka itu, yang umurnya baru jalan dua tahun, sudah sering nangis kalau kakak atau mamaknya VC-an dan bukan dia yang pegang hape. Sungguh generasi Alpha yang sejati.

Tapi yah tentu, tidak semua anak yang rewel, marah-marah, bahkan nangis-nangis itu gara-gara tak dibiarkan bermain hape. Bisa saja karena anak-anaknya merasa dicurangi, dizolimi, sebab pilihan presiden mainannya hanya jadi menteri. tidak dipenuhi. Gitu, loh!

Tentu kita harus adil sejak dalam pikiran menyikapi fenomena tersebut. Dan tidak lantas juga ujug-ujug menghakimi internet, dunia digital, dan segala satelit yang mengitarinya sebagai monster penghancur peradaban umat manusia. Lalu dengan gegabah melakukan boikot smartphone made in China apalagi yang tak berjaringan 4G karena dianggap jadi biang keladi dari semakin massifnya intensitas kita dengan teknologi digital.

Atau karena saking gemesnya dengar anak kecil telah sangat fasih berkata-kata kasar saat bermain game online, lantas kita memilih menggalang massa ke area No Signal agar tetap Istiqomah dari godaan internet yang terkutuk. Dan terpaksalah anak-anak kecil jadi menangis meronta karena tak bisa lagi yutupan dan main game. Lalu seseorang tetiba meracau: "Turunkan Presiden, turunkan Presiden! Presiden antek aseng yang menyuplai hape Cina!" MISALNYA.

Internet, perangkat digital, dan seluruh satelit yang mengitarinya, sejatinya adalah alat. sekali lagi, alat! Jangan beri awalan di-per . Ia seperti pisau memang. Keberadaannya dapat digunakan untuk hal positif seperti mengupas kulit durian, tapi juga sekaligus dapat digunakan untuk hal negatif macam menikam jantung sendiri karena tak sanggup menerima kenyataan ceweknya dilamar orang. Dasar kau laki-laki lemah!

Tapi bagi anak-anak, bukankah mereka sering kali terluka jika dibiarkan main pisau sendiri?  Begitupun dengan perangkat digital itu. Peran dan kreativitas orang tua diperlukan dalam mendidik, mengontrol, serta menyesuaikan diri dengan kenyataan sang anak yang tumbuh dalam iklim generasi Z dan bahkan masuk dalam kategori generasi Alpha menurut teori generasinya Ilmu Sosiologi -- generasi yang lahir di rentan waktu tahun 2011 hingga 2024.

Sebagai (calon) orang tua memang harus tetap cerdas sih. Sebab, tentulah jauh beda tantangan yang dihadapi generasi Z dengan generasi Meggy Z macam kita-kita ini.

Generasi Meggy Z, yang juga segenerasi dengan legenda lainnya macam Abiem Ngesti, misalnya, waktu kecilnya dulu hanya bercita-cita jadi pangeran dangdut. Saya juga tidak tauh kenapa mentok jadi pangeran dangdut. Sepertinya beliau sangat takzim dengan bang Haji Rhoma Irama yang lebih dulu sudah jadi raja. Dari keadaan ini, sebenarnya jagad dangdut itu jadi sedikit ambigu yah. Musiknya dari, oleh, dan untuk rakyat, tapi sistemnya kerajaan alih-alih demokrasi. Tapi yah bodo amatlah lah. Selama bukan khilafah, Dangdut this is music of my Country. Tarik, Maang!

Kembali ke soal anak, sebab, sebagai orang tua yang baik, kepentingan anak adalah segalanya. Tentu saja saya sedang membicarakan pengalaman orang lain, karena saat ini saya belum begitu memprioritaskan anak. Fokus saya masih soal masa depan. Bagaimana menata diri agar segera bisa menghalalkan dan memberimu anak. Uwoak.

Jadi begini, Mas! Jika anak generasi Meggy Z itu cita-citanya masih sangat konvensional dan itu-itu saja, seperti ingin jadi dokter, tentara, polisi, guru, dll, yang semua cita-cita itu dapat diwujudkan dalam karnaval Agustusan, maka, anak-anak generasi Z terlebih lagi generasi Alpha itu, bisa jadi akan bercita-cita jauh lebih kompleks. Dari kompleksitas itu, rentan terjadi gap antara ortu dan anaknya. Seriusan, orang tua pengguna smartphone di kampung saya itu masih ada yang kesulitan membedakan antara WhatsApp dengan WA. Sungguh keterlaluan.

Nah, dengan iklim digital yang pastinya kedepan bakal lebih massif, coba bayangkan jika tiba-tiba anak-anak Alpha itu menyampaikan ke kita kalau dia bercita-cita ingin jadi seperti Tuturu, Lemon, Benny Moza, EJ Gaming, atau Kimi Hime? Saya yakin, banyak orang tua yang buru-buru memesan ramuan kasumba ogi dan meminumkannya ke pada sang anak. Dikiranya itu igauan sebelum anak diserang campak.

Saya kira contoh yang saya kisahkan ini berlebihan. Saya tetap yakin kok, dengan usaha untuk terus mengupgrade diri, (calon) orang tua seperti kita ini (pengguna smartphone tapi phone-nya kadang lebih smart), tidak akan terlalu tertinggal wacana peradaban anak-anak generasi Z atau alam pikir generasi Alpha seperti anak yang dikisahkan di awal. Itu mengisyaratkan bahwa (kita) sebagai orang tua mesti senantiasa membuka diri pada dialektika perubahan jaman. Tentu saja tidak harus kehilangan prinsip, identitas, ataupun keyakinan lama yang telah menjadi nilai-nilai hidup dan masih relevan di kehidupan kekinian kita.


note: karena kehilangan jejak di IG, saya menyalin link video ini dari yutup saja. 

                                         https://youtu.be/uLZf2DgF27w

Minggu, 08 Juli 2018

MENIT 94

Harapan untuk melihat langkah negeri Sakura melenggang lebih jauh di piala dunia kali ini pupus saat mereka dikalahkan dini hari tadi secara dramatis. Lewat satu serangan balik cepat di menit 94, Nassad Chadli menjaringkan bola panas. Merubah kedudukan menjadi 3-2, sekaligus mengubur mimpi Jepang di menit paling akhir.

Rostov Arena jadi saksi bahwa laga Jepang kontra Belgia adalah salah satu yang paling menarik. Langkah-langkah panjang pemain Belgia mampu diimbangi kaki-kaki cepat pasukan Samurai Biru. Kedua tim bermain dengan tempo tinggi serta menyajikan transaksi serangan yang menghibur.

Etos kerja, disiplin tinggi, dan kolektifitas tim ala negeri Asia Timur diperagakan Makoto Hasebe dkk. Manuver Romelu Lukaku serta Eden Hazard, berkali dipatahkan. Shinji Kagawa, Yuto Nagatomo, sesekali membalas lewat serangan balik cepat dari sektor sayap. Namun tak ada gol yang berhasil tercipta. Skor kacamata mengantar kedua tim turun minum.

Paruh kedua, Jepang lebih dulu menekan. Yuto Nagatomo dari kiri belakang juga ikut membantu serangan. Tiga menit paruh kedua berjalan, Gaku Shibasaki mengirim umpan terobosan. Tanpa ampun, Genki Haraguchi memaksimalkan peluang tersebut--melesakkan bola ke sudut kanan gawang yang tak dijangkau kiper Belgia; Thibaut Courtois. Gol! Jepang 1, Belgia 0.

Selebrasi Pemain Jepang usai membobol gawang Belgia (foto.net)

Seperti tersentak, Belgia menaikkan tempo serangan. Beberapa peluang tercipta. Namun tembakan Eden Hazard hanya mengecup mistar gawang. Pressing tinggi dan gaya militan Jepang cukup menyulitkan Belgia. Spirit seorang samurai yang menjunjung harga diri tinggi seperti sedang dipertontonkan tim Jepang. Sama sekali tak ada rona cemas menghadapi tim yang digadang juara. Alih-alih mengendorkan serangan, Takashi Inui malah membuat gol cantik lewat tembakan keras dari luar kotak pinalti. Courtois memungut bola untuk yang kedua kali. Belgia 0, Jepang 2.

Saya tertegun. Apa yang dilakukan Jepang mirip adegan serial kapten Tsubasa. Dari tubuh-tubuh orang Asia yang kecil, ada heroisme dan api semangat besar yang tengah menyala. Penonton lain yang menjagokan Jepang bersorak. Mereka yang memasang taruhan satu setengah bola pada Belgia, membisu tak bergerak.

Belgia bukannya tanpa serangan. Berulang kali tim Setan Merah ini memberi ancaman. Namun sundulan Lukaku dan peluang pemain Belgia lainnya belum menjumpai sasaran. Bisa jadi karena ketidakberuntungan, atau karena memang performa Eiji Kawashima yang tangguh di bawah mistar gawang Japan.

Masa pertandingan sudah menuju menit 70. Dari pinggir lapangan, pelatih Belgia, Roberto Martinez, mengungkap bahasa tubuh yang cemas. Otaknya seperti sedang berpikir keras bahwa ada sesuatu yang salah dan mesti diubah di lapangan. Betul saja, Belgia kemudian melakukan beberapa pergantian pemain.

Kedua tim masih saling bertukar peluang. Namun tertinggal dua gol, Eden Hazard lebih agresif memompa semangat rekannya memecah kebuntuan.

Berawal dari sebuah kemelut di area kotak enam belas, bola yang bermaksud dibuang pemain Jepang, malah menuju ke sisi kanan lapangan dan jatuh tepat di atas kepala pemain Belgia; Jan Vertonghen. Sundulan tanpa gaya itu membuat bola jatuh di tiang jauh dan tak dijangkau Kawashima. Menit 69: Belgia 1, Jepang 2.

Belgia mengandalkan kelebihan postur tubuh dengan memaksimalkan bola-bola crossing. Lukaku boleh gagal berkali-kali dengan sundulannya, tapi tidak dengan Marouane Fellaini. Lewat tendangan sudut Eden Hazard, pemain yang masuk di babak kedua itu memenangkan duel udara dengan pemain Jepang--menjaringkan bola dengan sundulan akuratnya. Fellaini mencatat namanya di papan skor. Kawashima kembali memungut bola di menit 74. Belgia 2, Jepang 2.

Berjibaku. Pemain-pemain Belgia memaksimalkan bola-bola udara.

Skor seri tidak membuat kedua tim mengendorkan serangan. Keisuke Honda yang masuk di babak kedua punya peluang lewat satu tendangan bebas, namun masih dapat diantisipasi dengan baik oleh Courtois. Begitupun dengan beberapa tembakan-tembakan dari pemain Belgia, juga masih gagal membuahkan gol.

Pertandingan ini sepertinya akan dilanjutkan dengan extra time saat asisten wasit memberi lima menit waktu di papan injury time. Di menit 93, Jepang punya peluang terakhir lewat tendangan pojok. Dengan tenang para pemain Jepang terlihat ingin memaksimalkannya. Mungkin melompat, lalu kembali bertarung dengan tubuh-tubuh tinggi dari pemain belakang Belgia.

Tapi duka bisa datang kapan saja. Tendangan pojok itu berhasil ditangkap kiper Belgia. Courtois dengan sangat cepat menyuap bola hasil tangkapannya  kepada Kevin De Bruyne. Lalu juga tidak kalah cepatnya di oper ke Thomas Meunier yang telah berlari bag dikejar setan di sisi kanan.

Pemain Jepang dengan grasa-grusu mengantisipasi umpan silang Meunier yang oleh Lukaku, bola operannya itu dibiarkan terus menggelinding ke kaki Nacer Chadli yang tak terkawal. Gawang Kawashima bergetar kencang. Tawa bagi Belgia, duka bagi Jepang--Terjadi bersamaan di menit 94.

Lantas apa hikmah dari pertandingan yang menegangkan ini?

Bahwa sebagai pengguna Yamaha, Suzuki, Toshiba, Sanken, Salonpas dan produk Jepang lainnya, sudah seharusnya kita berbangga punya wakil Asia seperti Maria Ozawa. Eh, Jepang, maksudnya!

Kamis, 24 Mei 2018

ULAR

Dua hari ini saya seperti diikuti seekor ular. Ular kecil memang. Panjangnya sekitar satu meter dengan diameter lebih besar dari ibu jari. Saya masih dapat membedakannya dengan ular daun yang ukurannya lebih kecil. Warnanya pun berbeda. Tidak hijau, tapi kuning kecoklatan. Lidahnya merah jambu dan sering dia julurkan. Tentu saya tidak paham jenis ularnya apa. Saya bukan Panji Petualang, yang kalo lihat ular langsung ditangkap dan direview. Bisa melacak, bisanya berbahaya, atau malah tidak punya bisa.

Pertemuan awal saya kemarin siang di satu rumah yang jadi kantornya LIAR. Saya masuk lewat pintu, dia masuk lewat jendela. Kagetnya bukan kepalang saat kulihat badannya berjalan berkelok. Bercampur rasa geli dan sedikit takut (sebenarnya banyak), saya coba usir ularnya. Ternyata ularnya juga takut. Jalannya jadi cepat dan kencang. Mungkin sebenarnya ularnya sedang berlari. Wallahualam.

Bukannya keluar dari rumah, ularnya berlari kencang ke dalam kamar. Saya coba mengusirnya lagi, tapi tidak berani masuk ke dalam kamar. Saya ingat petuah entah dari siapa. Kalau ada binatang liar seperti ular, sebaiknya jangan langsung di bunuh jika tidak membahayakan. Siapa tau dia bukan ular sembarang. Hanya pura-pura jadi ular. Malu mengakui jati dirinya. Maka saya pun mengusirnya sambil berujar, "Keluarkoe, keluarko!" kata saya gemas.

Saya tidak melanjutkan pengusiran itu lebih lama. Selain merasa bodoh, saya juga merasa jadi pecundang. Ular begitu saja tak berani saya hadapi. Menangkap kepalanya, lalu saya ajak selfi. Kemudian pamer ke sosmed, lalu saya beri caption; ~Lelaki jantan adalah lelaki yang mampu menjinakkan ular. Ular saja dijinakkan, apalagi hatimu, Eah!~

Duduk sendiri di ruang depan, saya jadi tidak tenang. Sedikit-sedikit tengok ke kiri, sedikit-sedikit tengok ke kanan. Saya merasa sangat jadi terteror. Membayangkan ularnya tiba-tiba di kaki saya, dan melilitnya hingga ke bagian yang paling sensitif. Bukan selangkangan, tapi mata. Maka membayangkan lilitan-lilitannya itu yang tidak saya sanggup. Ada sensasi geli yang tak biasa. Itu sebabnya saya sedikit phobia. Jadi jikalah harus memilih, mending saya ketemu burung gereja daripada mahluk bernama ular. Gelieh, Cok!

Di tengah rasa teror yang meliputi, pikiran jahil saya muncul. Biarkan saja ular itu di kamar. Teman-teman saya yang akan masuk dan langsung berbaring, pasti jadi lucu jika rusuh karena kaget. Saya tersenyum bajingan, lalu pulang.

Hari ini saya kembali ke rumah itu. Tapi saya bisa memastikan jika belum ada orang lain yang datang dan masuk selain saya. Maka kewaspadaan saya berada di level tertinggi. Saya membuka pintu dengan pelan. Berjalan masuk dengan siaga. Lalu mengintip kamar dari luar.

"Hmm... pasti kamu sedang melipat-lipat diri di bawah kasur atau sedang leyeh-leyeh di sela bantal," ucapku dalam hati penuh prasangka seperti pemeran antagonis dalam sinetron.

"Prak..." Kupukul pintu kamar dengan keras satu kali. Itu saya lakukan agar adrenalin saya sedikit santai. Bisa juga dikatakan itu gertakan pada si ular. Seperti sosmed pasca bom teror beberapa waktu lalu, yang rame dengan tagar #SayaTidakTakut.  Meski rame tagar #SayaTidakTakut, ternyata bom terornya memberi efek lain. Selain jadi lebih siaga, kita jadi cenderung jadi saling curiga. Jika terus begini, bisa jadi bos teroris yang sesungguhnya sedang tertawa di sana, bersama ular, di bawah kasur dan sela-sela bantal.

Puas melakukan counter gertak dengan memukul pintu kamar, saya buru-buru kembali ke ruang depan, mengerjakan tugas. Tentu saja, mata saya masih tengok kanan dan tengok kiri.

Akhirnya datanglah panggilan alam. Saya harus buang air kecil. Bayangan-bayangan tentang ular masih terus bermain di pikiran saya. Kubayangkan setiap membuka sesuatu, tiba-tiba dari dalam keluar ular. Kubuka pintu kamar kecil, terbayang ada ular. Kubuka resleting celana, juga terbayang tiba-tiba ada ular. Tapi ular yang ini tidak melilit. Cuma berbisa. Bisa membinasakan jika salah gigit.

Hari semakin siang saat tugas yang saya kerjakan belum punya tanda-tanda akan selesai. Sementara itu, kesiagaan saya sama sekali tidak berkurang. Saya putuskan keluar rumah untuk membeli sesuatu.

Saat akan mengambil uang yang saya simpan di bagasi motor, dengan sangat cepat dan tiba-tiba, ada ular menerjang dan melompat keluar. "Brakk...," saya refleks dan lebih cepat membanting bagasi. Kampret! jantung saya rasanya mau jatuh.

Sementara ularnya masih di dalam bagasi, saya memastikan bahwa saya tidak sedang berhalusinasi, atau masih dalam bayang-bayangan seperti di kamar kecil tadi. Saya menetralisir rasa kaget yang bangsat ini, lalu mengambil sebatang bambu untuk memastikan ularnya yang mungkin juga sama kaget dan takutnya itu.

Setelah berlangsung drama cukup menegangkan di antara dua mahluk yang kemungkinan sama-sama kaget, takut dan geli ini, ular itu akhirnya melata dan keluar dari bagasi. Saya menghimpun nyali dan mencoba mengejarnya, mumpung kelihatannya dia juga bukan ular yang pemberani. Tapi gerakannya lincah. Dia masuk ke dalam sela batu di depan rumah.

Saya memastikan ular itu adalah ular yang kemarin bersembunyi di dalam kamar. Bagaimana bisa dia tiba-tiba di dalam bagasi yang terkunci rapat dan tanpa cela?

Hingga detik ini, saya masih jomblo penasaran!

Memang di foto ularnya tidak kelihatan.
Mungkin karena doi bersembunyi di bawah dompet, dua bungkus roti dan beberapa lembar uang.

Jumat, 04 Mei 2018

Imam Jumat


Khatib sudah mulai membaca khutbah kedua. Kuberi salam pada malaikat penjaga pintu, dan langsung mengambil posisi duduk di shaf kanan para jamaah.

Shalat sunnat Tahiyatul Masjid tak sempat saya tunaikan. Ceramah satu ustad, lamat-lamat pernah kudengar, katanya, jika datang terlambat, sebaiknya menyempatkan diri menyimak khutbah. Tahiyatul masjidnya, boleh dilakukan usai shalat Jumat.

Kurang dari 10 menit, khutbah kedua selesai. Iqamat dikumandangkan, shalat Jumat berjamaah dimulai.

Seperti biasa, surah Al fatihah dibaca dengan langgam umum. Irama padang pasirnya masih begitu terasa. Tentu tak ada improvisasi berlebihan. Apalagi membaca surah pamungkas ini dengan langgam Jaran Goyangnya Nella Kharisma. Selain takut bid'ah, juga dikuatirkan sidang jamaah grasa-grusu rebutan goyang. Apalagi sampai nekat nyawer. Itu mengerikan.

Tapi suara dari imam masjid kali ini tak seperti biasa. Selain terdengar lebih muda, suaranya juga baru pertama kali kudengar. Tentu saya berusaha khusyuk. Sama sekali tak berniat membatalkan shalat. Menerobos jamaah di depan saya untuk melihat dari dekat siapa yang jadi imam. Apalagi hanya karena dengan alasan, takut mati penasaran.

"Assalamualaikumwarahmatullah", jamaah menoleh ke kanan. "Assalamualaikumwarahmatullah", jamaah menoleh ke kiri. Kusapu wajah dengan tangan kanan. Alhamdulillah, Ibadah shalat Jumaat secara berjamaah selesai.

Berakhirnya ibadah yang hukumnya fardhu bagi muslim akhil baligh ini, ternyata tidak mengakhiri rasa penasaran saya soal siapa imam Jumat hari ini. Kepalaku ke sana ke mari. Mencoba mencari angle paling pas untuk melihat secara sempurna ke shaf paling depan. Dengan posisi duduk miring ke kanan sekitar 27 derajat lintang selatan, posisi cukup bagus kutemukan. Lensa mata kuatur dan kuakomodasi sedemikian rupa agar mendapatkan titik paling fokusnya. Dan, seseorang yang baru kali ini kulihat, menggunakan gamis yang selaras dengan warna pecinya.

"Siapa beliau?" hatiku bergumam.

Tiba-tiba, Pua yang tepat berada di sampingku setengah berbisik berujar,

"Paqjanggo!"

Fokus pandanganku kini beralih ke Pua. Kupalingkan wajah sekian derajat ke sebelah kiri. Pua dengan kopiah hitam dan sarung lusuhnya, sepertinya dari tadi memperhatikan saya. Kuberi dia senyum. Sambil mengkomat-kamitkan mulutnya yang sudah tak bergigi dan jadi matic itu, Ia berujar lagi,

"Paqjanggo! Mch... Deq gaga harapang," lalu tersenyum kecil menggelengkan kepalanya.

Sesungguhnya saya sedikit terpancing dengan upaya berbau provokasi dari kakek berumur sekira 70 tahunan ini. Andai saja kami tidak sedang di tengah-tengah jamaah, tentu saya bisa leluasa mengorek informasi lain dari beliau. Sebab, belakangan ini, memang kudengar kabar bahwa Imam masjid lama, tidak lagi berdomisili di kampung ini. Pak Imam lama memang seorang pandatang. Tapi meski begitu, dirinya sangat disenangi masyarakat di kampung ini. Tentu saja, selain karena sepaham dengan tradisi beragama masyarakat, beliau juga intens mengunjungi warga yang punya hajat atau hal lainnya yang butuh doa-doa.

Pergantian pengurus masjid beberapa waktu belakangan, sedikit banyak menimbulkan riak di warga kampung. Misalnya saja, rencana melarang pak imam untuk menghadiri acara tahlilan warga kampung yang dilakukan setelah shalat Maghrib. Karena di kampung ini hal itu sudah jadi tradisi, mayoritas masyarakat tentu menolak, dan tetap meminta pak imam untuk hadir sebagai "pambaca-nya".

Beberapa hari yang lalu akhirnya berujung klimaks. Salah satu "elit" masyarakat, berbuat sesuatu yang (tidak elok) dan akhirnya membuat pak imam memutuskan mengakhiri masa abdinya, kembali ke kampung halamannya. Jelas, itu membuat sedih dan kehilangan mendalam bagi mayoritas warga lainnya.

Hari-hari menjelang bulan Ramadhan ini, saya belum mendapat kabar soal siapa yang akan menggantikan posisi Pak Imam lama. Ataukah jangan-jangan, orangnya sudah jadi imam kita hari ini?

Interaksi kecil dan bisik-bisik hati saya bersama I Pua berakhir. Kami mengikuti jamaah lainnya yang sedang dipandu imam Jumat berdoa. Menengadahkan tangan ke langit. Semoga kampung kami senantiasa diberi kedamaian--dijauhkan dari bala dan perpecahan. Aamiin.


gambar by google

NB: Beberapa bulan kemudian suasana berangsur normal. Imam Shalat Jumat ini akhirnya diangkat menjadi imam tetap di masjid kampung. Beliaupun mulai berbaur dengan masyarakat serta cukup aktif dan sering hadir dalam memimpin doa dan tahlilan di setiap rumah warga yang memintanya. 

Rabu, 02 Mei 2018

Melawan Dominasi; Memetik Pelajaran di Kulit Bundar

Real Madrid itu sangat dominatif di liga champions. Tim ini hebat. Itu satu kenyataan yang tak terpungkiri. Tapi hal yang dominatif itu cukup sering menimbulkan kejenuhan. Apalagi jika dalam perjalanannya kemudian, untuk mempertahankan gelar juara dan dominasi itu, diiringi dengan hal berbau kontroversi, alih-alih permainan menawan.

Kejenuhan itu kemudian terendus dalam harapan banyak pecinta sepakbola, untuk melihat juara baru di champions league musim ini. Menarik, sebab harapan itu diletakkan pada tim-tim yang bisa dikata medioker, seperti Liverpool ataupun AS Roma.

Dua tim ini memang memberi kejutan. Permainannya selain cantik, juga menebar aura perjuangan dan aksi heroik melawan tim-tim mapan seperti Manchester City ataupun Barcelona. Sayangnya, kita harus melihat Liverpool dan AS Roma, saling bantai di semi final.
                                                            
Bukan karena suka Andreas Iniesta yang gugur bersama tim mapan lainnya, lalu saya bilang begini. Tapi sebagai warga negara dunia ketiga, kita memang agak sensi dengan hal-hal yang sifatnya dominatif. Lelah kita hidup dalam suasana itu. Maka seandainya anda begitu fanatik dengan Real Madrid, saya yakin, dalam hati kecil anda akan tetap senang, jika seandainya tim sekelas Real Zaragosa lah yang keluar sebagai juara champions.

Musim 2015-2016, Leicester City menghentak Liga Premier Inggris. Sebuah tim yang tak banyak dikenal, tak diisi pemain mahal. Tapi dengan kenyataan itu, Leicester malah jadi juara di liga yang konon paling kompetitif di dunia ini. Leicester mampu mematahkan dominasi tim-tim besar. Tim yang dengan gelimang kekayaannya, bisa mendatangkan pemain mahal mana saja yang mereka mau. Bukankah kita ikut berbahagia atas pencapaian Leicester ketika itu?

Juga sangat besar kemungkinan, bahwa fans Manchester United, (tim yang waktu itu menghabiskan 2,05 triliun) atau fans Manchester City (klub yang menghamburkan hingga 2,8 triliun untuk berbelanja pemain bintang), juga memberi respek dan penghormatan tinggi pada Leicester City--yang dengan budget 757 miliar saja, pemain-pemain tak terkenalnya lah yang mengangkat tropi juara.

Piala dunia 2018 nanti pun bisa jadi begitu. Kita mungkin mengunggulkan tim-tim mapan seperti Spanyol, Jerman, atau Brazil. Tapi sekali lagi, jika kita jenuh dengan dominasi, kita akan lebih berbangga melihat Tim nasional Mesir, atau Timnas negara Afrika lainnya yang jadi kampiun. Penyebabnya bisa jadi karena kita merasa senasib sepenanggungan. Sama-sama negeri dunia ketiga yang ingin menunjukkan taring pada gemerlapnya dominasi sepakbola barat.

Mungkin terkesan dipaksakan, jika hal ini di hubung-hubungkan dalam realitas politik kita. Yang menurut saya, masih begitu dominatif. Ruang-ruang perjuangan kebijakan, melulu diisi oleh mereka yang telah mapan akses politiknya. Yang dengan akses dan sel-sel politik yang disemai, mereka terus melenggang anggun di karpet merah kekuasaan.

Padahal, dengan semakin apatis dan pragmatisnya kita dalam menaruh harapan di pundak mereka, bisa jadi akibat jenuhnya kita dengan dominasi tanpa disertai kinerjanya yang menawan--yang dalam bahasanya Milea disebut; gitu-gitu ajah.

Maka, jika kita semakin jenuh dengan keadaan yang demikian, sudah saatnya kita tak lagi terpaku pada mereka yang dominatif dan mapan itu. Tapi untuk melihat sesuatu yang baru, sudah waktunya kita memilin asa pada mereka yang punya kapabilitas, serta tegas komitmen dan keberpihakannya--tapi masih tersisih Di Pinggiran Desa--tersembunyi di bawah bayang-bayang dominasi dan kemapanan politik para elit kita di atas sana.

gbr : Nalar Politik


 Cuplikan pertandingan antara Liverpool vs Asroma di leg ke 2 Liga Champions 2018


      Leicester City saat menjadi kampiun di Liga Premier Inggris musim 2015-2016

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Selasa, 01 Mei 2018

May Day; Jurnalis Juga Buruh

Satu teman di pesbuk, kalau bikin status, cukup sering menyisipkan hashtag #kulitinta. Saya menuju link KBBI online. Dugaanku benar, yang dimaksud dengan istilah "kulitinta", adalah profesi yang bergelut dan berpenghasilan dari dunia tulis-menulis, atau profesi lainnya seperti: Jurnalis.

Sebagian besar dari kita mungkin akan setuju, bahwa kata "kuli" dapat disepadankan dengan kata "buruh". Mungkin sebagiannya, punya pendapat, bahwa kuli itu, tidak bisa mendengar. Namun berhubung saat ini adalah momen May Day, kita bersepakat saja, bahwa kata KULI, semaksud dengan kata BURUH. Maka jika ditarik lagi ke dalam pengertian Kulitinta menurut KBBI, kesimpulan akhirnya adalah: Jurnalis itu buruh. Buruh yang pundi pendapatannya, bersumber dari honor pada perusahaan media tempatnya bekerja.

Syariat Tajuddin (mantan Jurnalis Senior di Jawa Pos), dalam satu kesempatannya berkata; Jurnalis adalah sebuah "profesi", bukan pekerjaan. Jurnalis, selain membutuhkan keahlian tertentu, juga mengemban mandat idealisme. Persoalan pundi, adalah efek kesekian dari pergulatan yang dilakoninya.

Terlepas dari ketersetujuan saya, dan mungkin juga kita, bahwa profesi jurnalis bukanlah jalan untuk meraup pundi lalu menjadi horang kaya-- kita juga sebaiknya bersepakat, bahwa jurnalis dengan segala resiko tinggi yang dihadapinya, mestilah tetap diapresiasi oleh media tempatnya bekerja dengan salah satunya memberikan salary yang setimpal. Ini perlu, bos! Sebab kita tahu, aktifitas jurnalis itu dituntut mobile. Kendaraannya butuh diisi BBM. Kuota internetnya perlu aktif agar tetap WA-an.

Ancaman eksternal yang paling mengerikan dari dunia jurnalisme kita, salah satunya datang dari amplop tuan-tuan gendut yang jadi sumber berita. Semakin sensitif issu yang diangkat, bisa jadi semakin tebal pula amplop yang akan dijejalkan ke mulut para oknum jurnalis agar tak lagi bicara. Jika sudah begitu, sirnalah mandat dari profesi yang mulia ini.

Maraknya pemberitaan timpang, yang alih-alih menjernihkan informasi tapi malah memperkeruh suasana, mungkin juga disebabkan oleh lesunya gairah jurnalis untuk melakukan verifikasi dan klarifikasi langsung pada sumber berita. Bisa jadi karena BBM di tangki motor telah kerontang. Kuota internet juga butuh di isi ulang. Sedang perusahaan media tempatnya bekerja, sudah mendesak berita harus segera tayang. Jika sudah begitu, mau tak mau jurnalis setor berita. Berimbang atau tidak, belakang persoalang.

Tapi tentu asumsi ini tidak berlaku di Sulawesi Barat. Sebab, media sebagai wadah pergulatan para jurnalis hebat di wilayah ini, telah sangat baik. Manajemen perusahaan media lokal, baik yang konvensional maupun yang ber-platform digital, telah memenuhi standar ideal. Jurnalis, yang dari premis awal di atas dapat juga disebut dengan buruh, telah sangat dipenuhi hak-haknya. Tidak ada lagi pemberitaan timpang, sebab jurnalisnya bergairah dan rajin klarifikasi. Tak ada lagi pemberitaan yang di '86-kan'--sebab dengan upah yang sangat layak, menerima amplop untuk merongrong prinsip, adalah siriq bagi insan pers di propinsi Malaqbi ini.

Maka, jika ada provokasi yang mengerahkan kita agar turun ke jalan memperjuang serta menyuarakan hak yang harus diterima para buruh media di momen May Day ini, sebaiknya berpikir-pikir lagi. Anda juga perlu membaca informasi terbaru, bahwa Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Barat di tahun 2018 ini, mencapai angka Rp 2.193.530. Naik  Rp 175.750, dari tahun 2017 yang masih senilai Rp 2.017.780. Nah, bukankah ini kabar bahagia dan nikmat yang dosa jika didustakan?

Semoga kita diberi kekuatan mempercayainya!


foto: FSPM

foto: AJI Indonesia

Sabtu, 21 April 2018

Panen Padi Ladang di Daala Timur; Gembira Ria Bersama

Jam Sembilan lewat Waktu Indonesia Tengah, Saya dan Ibu Hasna beranjak dari perkampungan warga, menuju salah satu lokasi ladang padi gunung yang akan panen hari ini, Jumat, (20/4/2018).

Kami memutuskan untuk tidak saling berboncengan. Sebab, akses jalan menuju lokasi tersebut katanya lumayan sulit. Dan benar adanya -- kami harus melewati jalan setapak yang setelah menurun, lalu tiba-tiba menanjak secara radikal.

Hujan semalam membuat jalanan jadi lebih licin.  Tapi untuk menebus rasa penasaran, tuas gas Jupiter z yang saya tunggangi, terus terpacu. Tiba-tiba motor 115 cc ini, seperti hanya punya satu gear perseneling. Gigi satu dengan tarikan gas maksimal jika jalan menanjak. Juga gigi satu saat harus menurun, membantu tromol belakang mengontrol kecepatan. Cukup melelahkan.

Tapi gengsi sebagai lelaki tangguh ditawan oleh bu Hasna. Perempuan dua anak ini begitu lihai menaklukkan jalanan. Bersama Honda Revo-nya, Ia melesat di depan. Meninggalkan saya sekian meter di belakang yang memang baru pertama kali melalui jalan ini. Tersadarlah saya dari pengaruh bualan iklan; Yamaha Semakin di Depan.

Hampir 30 menit berjibaku di jalan licin itu, sepeda motor akhirnya kami parkir. Jalanan di depan jadi lebih ekstrim. Perjalanan, mau tidak mau harus dilanjutkan dengan berjalan kaki.

Untuk menyamarkan rasa lelah. Sepanjang perjalanan kaki ini, ragam pertanyaan terus saya lontarkan ke Ibu Hasna. Mulai dari soal perkembangan P2K2 (Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga), dan tentu saja ihwal padi ladang dan aktivitas pertanian di desanya. Namun karena terbajak lelah, jawaban-jawabannya, samar-samar saya dengarkan.

Ibu Hasna saya kenal baru beberapa bulan ini. Menjabat sekretaris di kelompok Ibu-ibu Keluarga Penerima Manfaat Program Keluarga Harapan, membuat saya cukup intens berkomunikasi dengannya. Soal inisiatif mengunjungi aktifitas panen hari ini, juga berawal dari informasi yang saya dapat darinya. Oh yah, wilayah yang akan kami kunjungi ini meski lumayan jauh, masih dalam wilayah dusun Pekeloang, Desa Daala Timur, Kecamatan Bulo, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Lengkap toh?

Sekira 20 menit berjalan kaki, areal ladang dengan padi yang menguning sudah tampak di ujung mata. Ini adalah kali pertama saya melihat secara langsung tanaman padi yang berbaris indah di sepanjang kaki bukit.

Saya dan bu Hasna akhirnya tiba juga di ladang yang hari ini sedang panen. Beberapa petani nampak sudah mulai beristirahat dan sarapan (istilah di kampung saya ketika rehat sejenak untuk minum kopi atau menyantap kue yang disediakan).

Kesempatan tidak saya buang-buang. Setelah ngudud, dan tentu saja berkenalan dengan beberapa petani yang baru pertama ini bertemu, saya langsung saja 'turlap' -- memanggil insting kepo -- bertanya tentang banyak hal -- dan mendokumentasikan apa saja yang menurutku menarik.



Pemandangan di kaki bukit. Dari sini, tampak sungai Maloso di bawah sana.
Ketika musim panen seperti sekarang, petani akan cukup sering tinggal di ladang masing-masing. Tentu saja, selain menjaga padi dari serangan babi hutan, juga karena pulang balik ladang-kampung tentu sangat melelahkan. Itu kenapa, di setiap ladang akan ada pondokannya. 
Serangan babi menjadi rentan dikarenakan ladang-ladang ini berada di pinggir hutan. Menurut cerita warga lahan ini sudah dikelola turun-temurun, meskipun berada di sekitar kawasan hutan
Suasana saat petani sedang panen dan bergembira ria. Panen ini dilakukan dengan bergotong royong secara bergantian. Oleh karena itu, meskipun seorang petani telah selesai memanen padi di ladang miliknya, Ia tidak akan langsung pulang. Melainkan akan membantu juga petani lain yang panen di hari berikutnya.

Matahari yang terik menjadi tidak terasa dengan guyonan dan ledakan tawa di sepanjang mereka bekerja
Dari mulai menanam hingga panen, semua dilakukan dengan tradisional. Seorang petani laki-laki menggunakan alat potong padi yang saya lupa namanya apa. 
Perempuan dan laki-laki berbaur bekerja sama. Ini sudah tradisi dan keraifan lokal mereka. Pembagian peran yang bijak, tanpa embel-embel kajian kesetaraan gender yang kadang muluk-muluk itu.
Yang saya pegang ini adalah padi/beras merah. tentu saja tanpa input kimia baik pupuk maupun pestisida. Jelas donk, pangan di desa ini jauh lebuh sehat ketimbang hasil pertanian di sekitaran 'kota' yang nauzubillah over penggunaan pupuk sintetis dan bahan kimianya. 

Petani-petani ini sangat kreatif membuat alat semacam mesin penggiling padi. Dibuat dengan sederhana, tetapi cukup efektif dibanding mereka menggunakan alat yang lama. Dengan alat ini, tiga orang petani, biasanya laki-laki, akan (saya bingung membahsakannya hahah) intinya menginjak padi untuk memisahkan dengan jeraminya.
Oo liatko oo, prinsip kerjanya mirip mesin pemotong padi (dros), hanya saja dilakukan dengan cara serba manual. Saat saya bertanya kenapa tidak pakai mesin dros kecil saja, mereka bilang itu agak sulit karena medan yang jauh dan berbukit. Susah bawanya, Mas.
Dan inilah sebagian hasil panen hari ini yang sudah di proses dan siap diangkut ke kampung. Kalo bagian ini, sudah ada jasa khusus yang akan membawanya -- semacam motor taxi kalau di kampung saya. Dan karena  medan dan akses jalan yang cukup ekstrem menuju kampung, maka memang harus dibayar alias diupah. Mahal bensinG!
Anak-anak tentu saja ikut bergembira ria dengan musim panen ini. Mereka ikut orang tuanya ke ladang dan bersuka cita. Sambil bercanda dengan mereka, saya titip pesan untuk jangan sampai lupa menikah bolos sekolah. 






Minggu, 04 Februari 2018

Inspirasi dari Komunitas Petani Alami Galeso

Di langit matahari perlahan menunduk. Sinarnya menjurus redup. Namun, hingga ujung penglihatan mata, hamparan sawah dengan bulir padi mulai menguning, masih tetap jelas terlihat. Pemandangan di Desa Galeso, Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar tersebut,  begitu klop dengan angin selatan yang berhembus sepoi sore itu.

Di salah satu petak hamparan sawah tersebut, tiga petani muda berjibaku memanggul tangki. Mereka adalah Irwan, Thalib, dan Zainal. Kurang lebih 1 Ha lahan pertanian mereka, kembali akan di semprot dengan nutrisi alami. Kali ini, mereka melakukan penyemprotan terakhir menjelang panen dengan tujuan memaksimalkan kualitas buah padi.

"Komposisi bahan yang kami gunakan hari ini adalah nutrisi dari buah masak dan nutrisi dari cangkang yang di campur dengan air laut." 

Kalimat tersebut dilontarkan Irwan, saat saya dan seorang kawan prohresif; Bung Noerdin Cambaliwali, berkunjung di tengah kesibukannya sore itu bersama dengan dua rekannya. Sabtu, 4/2/2018


Dokumentasi Pribadi; Pertanian Alami itu Ramah Lingkungan
Perawatan dengan menyemprot buah padi dengan bahan tersebut, menurut Irwan, dilakukan saat usia padi berkisar 70-80 hari. Dengan masing-masing bahan mempunyai khasiat dan tujuan tertentu pada tanaman.

"Nutrisi buah masak dan cangkang itu berfungsi untuk meperbaiki pembentukan biji dan buah. Sedangkan air laut berguna untuk memaksimalkan proses pemasakan buah." kata Bang Irwan.

Tahun ini merupakan musim ke empat, komunitas pemuda di desa Galeso, bergelut dengan pertanian alami. Salah satu metode pertanian yang tidak lagi menggunakan input kimia berupa pupuk dan pestisida sintetis, namun menggunakan bahan-bahan lokal murah yang ramah lingkungan.

Dengan menggunakan metode pertanian alami, mereka mengakui tidak lagi bergantung pada pupuk dan pestisida sintetis. Sebab, bahan alternatifnya telah mampu dibuat sendiri. Selain itu, dengan alternatif pertanian alami, diakui mereka hanya membutuhkan modal produksi yang minim. 

Jauh berbeda dengan metode konvensional yang mengandalkan input kimia. Metode konvensional padat modal tersebut bisa menghabiskan biaya hingga jutaan untuk luasan lahan 1 Ha. Sedangkan dengan metode pertanian alami (Natural Farming), dengan luas lahan yang sama,  biaya produksi yang diperlukan hanya maksimal 500 ribu rupiah. Hal tersebut disampaikan petani alami lainnya, Zainal.

Dokumentasi Pribadi: Pertanian Alami Murah dan Menguntungkan

"Sawah yang yang saya kerja itu sekitar 70 are. Untuk biaya pembuatan herbal, nutrisi dan pupuk alami, untuk satu kali turun sawah, biayanya paling tinggi 300 ribu. Waktu masih pakai pupuk dan pestisida kimia, biayanya bisa sampai dua juta," katanya.

Suka duka menjalankan metode pertanian alami telah mereka cecap selama dua tahun terakhir. Di awal-awal, gerakan terobosan yang mereka lakukan dianggap sepele. Namun belakangan, metode bertani mereka mulai dilirik petani di sekitarnya. Sebabnya, dengan metode pertanian alami, secara kuantitas hasilnya cenderung stabil. Hal tersebut menjadi sebuah keistimewaan, ditengah situasi terakhir petani di desa Galeso yang kian menurun hasilnya setiap kali panen.

Menurut para petani muda tersebut, tidak mudah untuk meyakinkan masyarakat untuk beralih ke metode bertani alami. Petani sudah terlanjur merasa nyaman dengan pola pertanian konvensional yang dianggap lebih praktis. Selain itu, ada juga kendala teknis berupa banyaknya petani berstatus penggarap, sehingga belum bisa menentukan kemandirian sebab masih bergantung pada keputusan pemilik lahan. 

"Mengajak petani beralih metode itu sama dengan mengajak seseorang berpindah keyakinan. Apalagi ada kendala-kendala tertentu. Jadi kita pelan-pelan saja." Kali ini Thalib yang memberi komentar.

Sambil tetap fokus menyemprot padi di hadapannya, pemuda berdarah Arab ini terus membagi pengalaman. Ia menuturkan bahwa meski masyarakat belum berani beralih ke metode bertani alami, masyarakat tetap mengakui bahwa beras alami mereka jauh lebih berkualitas dan lebih sehat, sebab tidak lagi mengandung bahan kimia berbahaya.

Dokumentasi Pribadi: Pertanian Alami itu Menyehatkan

"Kalau nasi dari beras kimia hanya bisa bertahan sehari, sedangkan nasi dari beras alami ini tidak akan basi sampai dua hari. Rasanya juga lebih enak. Masyarakat disini, sudah cukup banyak yang membuktikan itu." kata dia lagi.

Di desa Galeso sendiri, luas lahan pertanian yang digarap secara alami, baru berkisar 2,5 Ha, dengan jumlah petani sekitar enam orang. Namun, para penggerak petani alami di desa Galeso tetap optimis, bahwa sedikit demi sedikit, luas lahan dan jumlah petani alami di komunitasnya akan terus bertambah.
Hal tersebut teramati saat tiga petani muda ini melakukan penyemprotan sore itu. Beberapa petani lain menghampiri dan bertanya soal perkembangan aktifitas pertanian alami yang mereka lakoni.

Bulir padi petani alami ini yang kian menguning, adalah pertanda bahwa panen tidak akan lama lagi. Tapi menurut mereka, tujuannya bukanlah sekadar hasil panen melimpah berbiaya murah nan lebih sehat. Akan tetapi, ketika metode bertani alami yang mereka pilih, berhasil mengetuk kesadaran banyak pihak, bahwa selain kewajiban menjaga alam,  kemandirian dan kedaulatan petani memang mesti direngkuh kembali. 

 Dokumentasi Pribadi; Dari kiri ke kanan:
Praktisi dan Pegiat Pertanian Alami, CO muda berbakat dan prohresif, Pewarta Amatir dan Senyumnya manis sekali 



Cacatan, eh, catatan: cerita ini dimuat di Teras Sulbar.Co dengan judul berbeda