Daftar Blog Saya

Jumat, 04 Mei 2018

Imam Jumat


Khatib sudah mulai membaca khutbah kedua. Kuberi salam pada malaikat penjaga pintu, dan langsung mengambil posisi duduk di shaf kanan para jamaah.

Shalat sunnat Tahiyatul Masjid tak sempat saya tunaikan. Ceramah satu ustad, lamat-lamat pernah kudengar, katanya, jika datang terlambat, sebaiknya menyempatkan diri menyimak khutbah. Tahiyatul masjidnya, boleh dilakukan usai shalat Jumat.

Kurang dari 10 menit, khutbah kedua selesai. Iqamat dikumandangkan, shalat Jumat berjamaah dimulai.

Seperti biasa, surah Al fatihah dibaca dengan langgam umum. Irama padang pasirnya masih begitu terasa. Tentu tak ada improvisasi berlebihan. Apalagi membaca surah pamungkas ini dengan langgam Jaran Goyangnya Nella Kharisma. Selain takut bid'ah, juga dikuatirkan sidang jamaah grasa-grusu rebutan goyang. Apalagi sampai nekat nyawer. Itu mengerikan.

Tapi suara dari imam masjid kali ini tak seperti biasa. Selain terdengar lebih muda, suaranya juga baru pertama kali kudengar. Tentu saya berusaha khusyuk. Sama sekali tak berniat membatalkan shalat. Menerobos jamaah di depan saya untuk melihat dari dekat siapa yang jadi imam. Apalagi hanya karena dengan alasan, takut mati penasaran.

"Assalamualaikumwarahmatullah", jamaah menoleh ke kanan. "Assalamualaikumwarahmatullah", jamaah menoleh ke kiri. Kusapu wajah dengan tangan kanan. Alhamdulillah, Ibadah shalat Jumaat secara berjamaah selesai.

Berakhirnya ibadah yang hukumnya fardhu bagi muslim akhil baligh ini, ternyata tidak mengakhiri rasa penasaran saya soal siapa imam Jumat hari ini. Kepalaku ke sana ke mari. Mencoba mencari angle paling pas untuk melihat secara sempurna ke shaf paling depan. Dengan posisi duduk miring ke kanan sekitar 27 derajat lintang selatan, posisi cukup bagus kutemukan. Lensa mata kuatur dan kuakomodasi sedemikian rupa agar mendapatkan titik paling fokusnya. Dan, seseorang yang baru kali ini kulihat, menggunakan gamis yang selaras dengan warna pecinya.

"Siapa beliau?" hatiku bergumam.

Tiba-tiba, Pua yang tepat berada di sampingku setengah berbisik berujar,

"Paqjanggo!"

Fokus pandanganku kini beralih ke Pua. Kupalingkan wajah sekian derajat ke sebelah kiri. Pua dengan kopiah hitam dan sarung lusuhnya, sepertinya dari tadi memperhatikan saya. Kuberi dia senyum. Sambil mengkomat-kamitkan mulutnya yang sudah tak bergigi dan jadi matic itu, Ia berujar lagi,

"Paqjanggo! Mch... Deq gaga harapang," lalu tersenyum kecil menggelengkan kepalanya.

Sesungguhnya saya sedikit terpancing dengan upaya berbau provokasi dari kakek berumur sekira 70 tahunan ini. Andai saja kami tidak sedang di tengah-tengah jamaah, tentu saya bisa leluasa mengorek informasi lain dari beliau. Sebab, belakangan ini, memang kudengar kabar bahwa Imam masjid lama, tidak lagi berdomisili di kampung ini. Pak Imam lama memang seorang pandatang. Tapi meski begitu, dirinya sangat disenangi masyarakat di kampung ini. Tentu saja, selain karena sepaham dengan tradisi beragama masyarakat, beliau juga intens mengunjungi warga yang punya hajat atau hal lainnya yang butuh doa-doa.

Pergantian pengurus masjid beberapa waktu belakangan, sedikit banyak menimbulkan riak di warga kampung. Misalnya saja, rencana melarang pak imam untuk menghadiri acara tahlilan warga kampung yang dilakukan setelah shalat Maghrib. Karena di kampung ini hal itu sudah jadi tradisi, mayoritas masyarakat tentu menolak, dan tetap meminta pak imam untuk hadir sebagai "pambaca-nya".

Beberapa hari yang lalu akhirnya berujung klimaks. Salah satu "elit" masyarakat, berbuat sesuatu yang (tidak elok) dan akhirnya membuat pak imam memutuskan mengakhiri masa abdinya, kembali ke kampung halamannya. Jelas, itu membuat sedih dan kehilangan mendalam bagi mayoritas warga lainnya.

Hari-hari menjelang bulan Ramadhan ini, saya belum mendapat kabar soal siapa yang akan menggantikan posisi Pak Imam lama. Ataukah jangan-jangan, orangnya sudah jadi imam kita hari ini?

Interaksi kecil dan bisik-bisik hati saya bersama I Pua berakhir. Kami mengikuti jamaah lainnya yang sedang dipandu imam Jumat berdoa. Menengadahkan tangan ke langit. Semoga kampung kami senantiasa diberi kedamaian--dijauhkan dari bala dan perpecahan. Aamiin.


gambar by google

NB: Beberapa bulan kemudian suasana berangsur normal. Imam Shalat Jumat ini akhirnya diangkat menjadi imam tetap di masjid kampung. Beliaupun mulai berbaur dengan masyarakat serta cukup aktif dan sering hadir dalam memimpin doa dan tahlilan di setiap rumah warga yang memintanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar