Daftar Blog Saya

Kamis, 24 Mei 2018

ULAR

Dua hari ini saya seperti diikuti seekor ular. Ular kecil memang. Panjangnya sekitar satu meter dengan diameter lebih besar dari ibu jari. Saya masih dapat membedakannya dengan ular daun yang ukurannya lebih kecil. Warnanya pun berbeda. Tidak hijau, tapi kuning kecoklatan. Lidahnya merah jambu dan sering dia julurkan. Tentu saya tidak paham jenis ularnya apa. Saya bukan Panji Petualang, yang kalo lihat ular langsung ditangkap dan direview. Bisa melacak, bisanya berbahaya, atau malah tidak punya bisa.

Pertemuan awal saya kemarin siang di satu rumah yang jadi kantornya LIAR. Saya masuk lewat pintu, dia masuk lewat jendela. Kagetnya bukan kepalang saat kulihat badannya berjalan berkelok. Bercampur rasa geli dan sedikit takut (sebenarnya banyak), saya coba usir ularnya. Ternyata ularnya juga takut. Jalannya jadi cepat dan kencang. Mungkin sebenarnya ularnya sedang berlari. Wallahualam.

Bukannya keluar dari rumah, ularnya berlari kencang ke dalam kamar. Saya coba mengusirnya lagi, tapi tidak berani masuk ke dalam kamar. Saya ingat petuah entah dari siapa. Kalau ada binatang liar seperti ular, sebaiknya jangan langsung di bunuh jika tidak membahayakan. Siapa tau dia bukan ular sembarang. Hanya pura-pura jadi ular. Malu mengakui jati dirinya. Maka saya pun mengusirnya sambil berujar, "Keluarkoe, keluarko!" kata saya gemas.

Saya tidak melanjutkan pengusiran itu lebih lama. Selain merasa bodoh, saya juga merasa jadi pecundang. Ular begitu saja tak berani saya hadapi. Menangkap kepalanya, lalu saya ajak selfi. Kemudian pamer ke sosmed, lalu saya beri caption; ~Lelaki jantan adalah lelaki yang mampu menjinakkan ular. Ular saja dijinakkan, apalagi hatimu, Eah!~

Duduk sendiri di ruang depan, saya jadi tidak tenang. Sedikit-sedikit tengok ke kiri, sedikit-sedikit tengok ke kanan. Saya merasa sangat jadi terteror. Membayangkan ularnya tiba-tiba di kaki saya, dan melilitnya hingga ke bagian yang paling sensitif. Bukan selangkangan, tapi mata. Maka membayangkan lilitan-lilitannya itu yang tidak saya sanggup. Ada sensasi geli yang tak biasa. Itu sebabnya saya sedikit phobia. Jadi jikalah harus memilih, mending saya ketemu burung gereja daripada mahluk bernama ular. Gelieh, Cok!

Di tengah rasa teror yang meliputi, pikiran jahil saya muncul. Biarkan saja ular itu di kamar. Teman-teman saya yang akan masuk dan langsung berbaring, pasti jadi lucu jika rusuh karena kaget. Saya tersenyum bajingan, lalu pulang.

Hari ini saya kembali ke rumah itu. Tapi saya bisa memastikan jika belum ada orang lain yang datang dan masuk selain saya. Maka kewaspadaan saya berada di level tertinggi. Saya membuka pintu dengan pelan. Berjalan masuk dengan siaga. Lalu mengintip kamar dari luar.

"Hmm... pasti kamu sedang melipat-lipat diri di bawah kasur atau sedang leyeh-leyeh di sela bantal," ucapku dalam hati penuh prasangka seperti pemeran antagonis dalam sinetron.

"Prak..." Kupukul pintu kamar dengan keras satu kali. Itu saya lakukan agar adrenalin saya sedikit santai. Bisa juga dikatakan itu gertakan pada si ular. Seperti sosmed pasca bom teror beberapa waktu lalu, yang rame dengan tagar #SayaTidakTakut.  Meski rame tagar #SayaTidakTakut, ternyata bom terornya memberi efek lain. Selain jadi lebih siaga, kita jadi cenderung jadi saling curiga. Jika terus begini, bisa jadi bos teroris yang sesungguhnya sedang tertawa di sana, bersama ular, di bawah kasur dan sela-sela bantal.

Puas melakukan counter gertak dengan memukul pintu kamar, saya buru-buru kembali ke ruang depan, mengerjakan tugas. Tentu saja, mata saya masih tengok kanan dan tengok kiri.

Akhirnya datanglah panggilan alam. Saya harus buang air kecil. Bayangan-bayangan tentang ular masih terus bermain di pikiran saya. Kubayangkan setiap membuka sesuatu, tiba-tiba dari dalam keluar ular. Kubuka pintu kamar kecil, terbayang ada ular. Kubuka resleting celana, juga terbayang tiba-tiba ada ular. Tapi ular yang ini tidak melilit. Cuma berbisa. Bisa membinasakan jika salah gigit.

Hari semakin siang saat tugas yang saya kerjakan belum punya tanda-tanda akan selesai. Sementara itu, kesiagaan saya sama sekali tidak berkurang. Saya putuskan keluar rumah untuk membeli sesuatu.

Saat akan mengambil uang yang saya simpan di bagasi motor, dengan sangat cepat dan tiba-tiba, ada ular menerjang dan melompat keluar. "Brakk...," saya refleks dan lebih cepat membanting bagasi. Kampret! jantung saya rasanya mau jatuh.

Sementara ularnya masih di dalam bagasi, saya memastikan bahwa saya tidak sedang berhalusinasi, atau masih dalam bayang-bayangan seperti di kamar kecil tadi. Saya menetralisir rasa kaget yang bangsat ini, lalu mengambil sebatang bambu untuk memastikan ularnya yang mungkin juga sama kaget dan takutnya itu.

Setelah berlangsung drama cukup menegangkan di antara dua mahluk yang kemungkinan sama-sama kaget, takut dan geli ini, ular itu akhirnya melata dan keluar dari bagasi. Saya menghimpun nyali dan mencoba mengejarnya, mumpung kelihatannya dia juga bukan ular yang pemberani. Tapi gerakannya lincah. Dia masuk ke dalam sela batu di depan rumah.

Saya memastikan ular itu adalah ular yang kemarin bersembunyi di dalam kamar. Bagaimana bisa dia tiba-tiba di dalam bagasi yang terkunci rapat dan tanpa cela?

Hingga detik ini, saya masih jomblo penasaran!

Memang di foto ularnya tidak kelihatan.
Mungkin karena doi bersembunyi di bawah dompet, dua bungkus roti dan beberapa lembar uang.

Jumat, 04 Mei 2018

Imam Jumat


Khatib sudah mulai membaca khutbah kedua. Kuberi salam pada malaikat penjaga pintu, dan langsung mengambil posisi duduk di shaf kanan para jamaah.

Shalat sunnat Tahiyatul Masjid tak sempat saya tunaikan. Ceramah satu ustad, lamat-lamat pernah kudengar, katanya, jika datang terlambat, sebaiknya menyempatkan diri menyimak khutbah. Tahiyatul masjidnya, boleh dilakukan usai shalat Jumat.

Kurang dari 10 menit, khutbah kedua selesai. Iqamat dikumandangkan, shalat Jumat berjamaah dimulai.

Seperti biasa, surah Al fatihah dibaca dengan langgam umum. Irama padang pasirnya masih begitu terasa. Tentu tak ada improvisasi berlebihan. Apalagi membaca surah pamungkas ini dengan langgam Jaran Goyangnya Nella Kharisma. Selain takut bid'ah, juga dikuatirkan sidang jamaah grasa-grusu rebutan goyang. Apalagi sampai nekat nyawer. Itu mengerikan.

Tapi suara dari imam masjid kali ini tak seperti biasa. Selain terdengar lebih muda, suaranya juga baru pertama kali kudengar. Tentu saya berusaha khusyuk. Sama sekali tak berniat membatalkan shalat. Menerobos jamaah di depan saya untuk melihat dari dekat siapa yang jadi imam. Apalagi hanya karena dengan alasan, takut mati penasaran.

"Assalamualaikumwarahmatullah", jamaah menoleh ke kanan. "Assalamualaikumwarahmatullah", jamaah menoleh ke kiri. Kusapu wajah dengan tangan kanan. Alhamdulillah, Ibadah shalat Jumaat secara berjamaah selesai.

Berakhirnya ibadah yang hukumnya fardhu bagi muslim akhil baligh ini, ternyata tidak mengakhiri rasa penasaran saya soal siapa imam Jumat hari ini. Kepalaku ke sana ke mari. Mencoba mencari angle paling pas untuk melihat secara sempurna ke shaf paling depan. Dengan posisi duduk miring ke kanan sekitar 27 derajat lintang selatan, posisi cukup bagus kutemukan. Lensa mata kuatur dan kuakomodasi sedemikian rupa agar mendapatkan titik paling fokusnya. Dan, seseorang yang baru kali ini kulihat, menggunakan gamis yang selaras dengan warna pecinya.

"Siapa beliau?" hatiku bergumam.

Tiba-tiba, Pua yang tepat berada di sampingku setengah berbisik berujar,

"Paqjanggo!"

Fokus pandanganku kini beralih ke Pua. Kupalingkan wajah sekian derajat ke sebelah kiri. Pua dengan kopiah hitam dan sarung lusuhnya, sepertinya dari tadi memperhatikan saya. Kuberi dia senyum. Sambil mengkomat-kamitkan mulutnya yang sudah tak bergigi dan jadi matic itu, Ia berujar lagi,

"Paqjanggo! Mch... Deq gaga harapang," lalu tersenyum kecil menggelengkan kepalanya.

Sesungguhnya saya sedikit terpancing dengan upaya berbau provokasi dari kakek berumur sekira 70 tahunan ini. Andai saja kami tidak sedang di tengah-tengah jamaah, tentu saya bisa leluasa mengorek informasi lain dari beliau. Sebab, belakangan ini, memang kudengar kabar bahwa Imam masjid lama, tidak lagi berdomisili di kampung ini. Pak Imam lama memang seorang pandatang. Tapi meski begitu, dirinya sangat disenangi masyarakat di kampung ini. Tentu saja, selain karena sepaham dengan tradisi beragama masyarakat, beliau juga intens mengunjungi warga yang punya hajat atau hal lainnya yang butuh doa-doa.

Pergantian pengurus masjid beberapa waktu belakangan, sedikit banyak menimbulkan riak di warga kampung. Misalnya saja, rencana melarang pak imam untuk menghadiri acara tahlilan warga kampung yang dilakukan setelah shalat Maghrib. Karena di kampung ini hal itu sudah jadi tradisi, mayoritas masyarakat tentu menolak, dan tetap meminta pak imam untuk hadir sebagai "pambaca-nya".

Beberapa hari yang lalu akhirnya berujung klimaks. Salah satu "elit" masyarakat, berbuat sesuatu yang (tidak elok) dan akhirnya membuat pak imam memutuskan mengakhiri masa abdinya, kembali ke kampung halamannya. Jelas, itu membuat sedih dan kehilangan mendalam bagi mayoritas warga lainnya.

Hari-hari menjelang bulan Ramadhan ini, saya belum mendapat kabar soal siapa yang akan menggantikan posisi Pak Imam lama. Ataukah jangan-jangan, orangnya sudah jadi imam kita hari ini?

Interaksi kecil dan bisik-bisik hati saya bersama I Pua berakhir. Kami mengikuti jamaah lainnya yang sedang dipandu imam Jumat berdoa. Menengadahkan tangan ke langit. Semoga kampung kami senantiasa diberi kedamaian--dijauhkan dari bala dan perpecahan. Aamiin.


gambar by google

NB: Beberapa bulan kemudian suasana berangsur normal. Imam Shalat Jumat ini akhirnya diangkat menjadi imam tetap di masjid kampung. Beliaupun mulai berbaur dengan masyarakat serta cukup aktif dan sering hadir dalam memimpin doa dan tahlilan di setiap rumah warga yang memintanya. 

Rabu, 02 Mei 2018

Melawan Dominasi; Memetik Pelajaran di Kulit Bundar

Real Madrid itu sangat dominatif di liga champions. Tim ini hebat. Itu satu kenyataan yang tak terpungkiri. Tapi hal yang dominatif itu cukup sering menimbulkan kejenuhan. Apalagi jika dalam perjalanannya kemudian, untuk mempertahankan gelar juara dan dominasi itu, diiringi dengan hal berbau kontroversi, alih-alih permainan menawan.

Kejenuhan itu kemudian terendus dalam harapan banyak pecinta sepakbola, untuk melihat juara baru di champions league musim ini. Menarik, sebab harapan itu diletakkan pada tim-tim yang bisa dikata medioker, seperti Liverpool ataupun AS Roma.

Dua tim ini memang memberi kejutan. Permainannya selain cantik, juga menebar aura perjuangan dan aksi heroik melawan tim-tim mapan seperti Manchester City ataupun Barcelona. Sayangnya, kita harus melihat Liverpool dan AS Roma, saling bantai di semi final.
                                                            
Bukan karena suka Andreas Iniesta yang gugur bersama tim mapan lainnya, lalu saya bilang begini. Tapi sebagai warga negara dunia ketiga, kita memang agak sensi dengan hal-hal yang sifatnya dominatif. Lelah kita hidup dalam suasana itu. Maka seandainya anda begitu fanatik dengan Real Madrid, saya yakin, dalam hati kecil anda akan tetap senang, jika seandainya tim sekelas Real Zaragosa lah yang keluar sebagai juara champions.

Musim 2015-2016, Leicester City menghentak Liga Premier Inggris. Sebuah tim yang tak banyak dikenal, tak diisi pemain mahal. Tapi dengan kenyataan itu, Leicester malah jadi juara di liga yang konon paling kompetitif di dunia ini. Leicester mampu mematahkan dominasi tim-tim besar. Tim yang dengan gelimang kekayaannya, bisa mendatangkan pemain mahal mana saja yang mereka mau. Bukankah kita ikut berbahagia atas pencapaian Leicester ketika itu?

Juga sangat besar kemungkinan, bahwa fans Manchester United, (tim yang waktu itu menghabiskan 2,05 triliun) atau fans Manchester City (klub yang menghamburkan hingga 2,8 triliun untuk berbelanja pemain bintang), juga memberi respek dan penghormatan tinggi pada Leicester City--yang dengan budget 757 miliar saja, pemain-pemain tak terkenalnya lah yang mengangkat tropi juara.

Piala dunia 2018 nanti pun bisa jadi begitu. Kita mungkin mengunggulkan tim-tim mapan seperti Spanyol, Jerman, atau Brazil. Tapi sekali lagi, jika kita jenuh dengan dominasi, kita akan lebih berbangga melihat Tim nasional Mesir, atau Timnas negara Afrika lainnya yang jadi kampiun. Penyebabnya bisa jadi karena kita merasa senasib sepenanggungan. Sama-sama negeri dunia ketiga yang ingin menunjukkan taring pada gemerlapnya dominasi sepakbola barat.

Mungkin terkesan dipaksakan, jika hal ini di hubung-hubungkan dalam realitas politik kita. Yang menurut saya, masih begitu dominatif. Ruang-ruang perjuangan kebijakan, melulu diisi oleh mereka yang telah mapan akses politiknya. Yang dengan akses dan sel-sel politik yang disemai, mereka terus melenggang anggun di karpet merah kekuasaan.

Padahal, dengan semakin apatis dan pragmatisnya kita dalam menaruh harapan di pundak mereka, bisa jadi akibat jenuhnya kita dengan dominasi tanpa disertai kinerjanya yang menawan--yang dalam bahasanya Milea disebut; gitu-gitu ajah.

Maka, jika kita semakin jenuh dengan keadaan yang demikian, sudah saatnya kita tak lagi terpaku pada mereka yang dominatif dan mapan itu. Tapi untuk melihat sesuatu yang baru, sudah waktunya kita memilin asa pada mereka yang punya kapabilitas, serta tegas komitmen dan keberpihakannya--tapi masih tersisih Di Pinggiran Desa--tersembunyi di bawah bayang-bayang dominasi dan kemapanan politik para elit kita di atas sana.

gbr : Nalar Politik


 Cuplikan pertandingan antara Liverpool vs Asroma di leg ke 2 Liga Champions 2018


      Leicester City saat menjadi kampiun di Liga Premier Inggris musim 2015-2016

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Selasa, 01 Mei 2018

May Day; Jurnalis Juga Buruh

Satu teman di pesbuk, kalau bikin status, cukup sering menyisipkan hashtag #kulitinta. Saya menuju link KBBI online. Dugaanku benar, yang dimaksud dengan istilah "kulitinta", adalah profesi yang bergelut dan berpenghasilan dari dunia tulis-menulis, atau profesi lainnya seperti: Jurnalis.

Sebagian besar dari kita mungkin akan setuju, bahwa kata "kuli" dapat disepadankan dengan kata "buruh". Mungkin sebagiannya, punya pendapat, bahwa kuli itu, tidak bisa mendengar. Namun berhubung saat ini adalah momen May Day, kita bersepakat saja, bahwa kata KULI, semaksud dengan kata BURUH. Maka jika ditarik lagi ke dalam pengertian Kulitinta menurut KBBI, kesimpulan akhirnya adalah: Jurnalis itu buruh. Buruh yang pundi pendapatannya, bersumber dari honor pada perusahaan media tempatnya bekerja.

Syariat Tajuddin (mantan Jurnalis Senior di Jawa Pos), dalam satu kesempatannya berkata; Jurnalis adalah sebuah "profesi", bukan pekerjaan. Jurnalis, selain membutuhkan keahlian tertentu, juga mengemban mandat idealisme. Persoalan pundi, adalah efek kesekian dari pergulatan yang dilakoninya.

Terlepas dari ketersetujuan saya, dan mungkin juga kita, bahwa profesi jurnalis bukanlah jalan untuk meraup pundi lalu menjadi horang kaya-- kita juga sebaiknya bersepakat, bahwa jurnalis dengan segala resiko tinggi yang dihadapinya, mestilah tetap diapresiasi oleh media tempatnya bekerja dengan salah satunya memberikan salary yang setimpal. Ini perlu, bos! Sebab kita tahu, aktifitas jurnalis itu dituntut mobile. Kendaraannya butuh diisi BBM. Kuota internetnya perlu aktif agar tetap WA-an.

Ancaman eksternal yang paling mengerikan dari dunia jurnalisme kita, salah satunya datang dari amplop tuan-tuan gendut yang jadi sumber berita. Semakin sensitif issu yang diangkat, bisa jadi semakin tebal pula amplop yang akan dijejalkan ke mulut para oknum jurnalis agar tak lagi bicara. Jika sudah begitu, sirnalah mandat dari profesi yang mulia ini.

Maraknya pemberitaan timpang, yang alih-alih menjernihkan informasi tapi malah memperkeruh suasana, mungkin juga disebabkan oleh lesunya gairah jurnalis untuk melakukan verifikasi dan klarifikasi langsung pada sumber berita. Bisa jadi karena BBM di tangki motor telah kerontang. Kuota internet juga butuh di isi ulang. Sedang perusahaan media tempatnya bekerja, sudah mendesak berita harus segera tayang. Jika sudah begitu, mau tak mau jurnalis setor berita. Berimbang atau tidak, belakang persoalang.

Tapi tentu asumsi ini tidak berlaku di Sulawesi Barat. Sebab, media sebagai wadah pergulatan para jurnalis hebat di wilayah ini, telah sangat baik. Manajemen perusahaan media lokal, baik yang konvensional maupun yang ber-platform digital, telah memenuhi standar ideal. Jurnalis, yang dari premis awal di atas dapat juga disebut dengan buruh, telah sangat dipenuhi hak-haknya. Tidak ada lagi pemberitaan timpang, sebab jurnalisnya bergairah dan rajin klarifikasi. Tak ada lagi pemberitaan yang di '86-kan'--sebab dengan upah yang sangat layak, menerima amplop untuk merongrong prinsip, adalah siriq bagi insan pers di propinsi Malaqbi ini.

Maka, jika ada provokasi yang mengerahkan kita agar turun ke jalan memperjuang serta menyuarakan hak yang harus diterima para buruh media di momen May Day ini, sebaiknya berpikir-pikir lagi. Anda juga perlu membaca informasi terbaru, bahwa Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Barat di tahun 2018 ini, mencapai angka Rp 2.193.530. Naik  Rp 175.750, dari tahun 2017 yang masih senilai Rp 2.017.780. Nah, bukankah ini kabar bahagia dan nikmat yang dosa jika didustakan?

Semoga kita diberi kekuatan mempercayainya!


foto: FSPM

foto: AJI Indonesia