Daftar Blog Saya

Minggu, 24 September 2017

Untuk Perempuan yang Sedang di Pelukan

Ijinkan aku menyapamu, Baby! Gadis yang sekian bulan akan datang genap berusia 23 tahun. Sebuah bilangan usia yang mempertegas bahwa kau memang sedang cantik-cantiknya. Bilangan yang seganjil hasratku meratapi kebersamaanmu dengan seorang pria yang jelas lebih kekar dari aku itu.

Beib! Sejak pilihan kau jatuhkan kepadanya, kini malam tak lagi berbintang. Mungkin karena sang bintang jengah dengan janjimu untuk sendiri dulu ibarat ludah yang kini haris kau jilat sendiri.
Tentu aku terlalu atas tuduhan itu. Tuduhan yang mungkin tak berdasar dan hanya mengorek kepedihan masa lalu. Tuduhan yang mungkin sejenaka pernyataan satu mantan jenderal bahwa di Republik ini masih tersisa 60 juta anggota dan simpatisan PKI yang mengancam eksistensi pemerintahan Jokowi.

Aku tidak sedang cemburu, Beib!
Apalagi berpikir akan merancang gerakan 30 September untuk mengkudetamu dari pelukannya. Aku sungguh bersyukur bahwa pilihanmu tidak hanya mengandalkan perasaan, melainkan menyertakan logika dan pandangan empirik, bahwa pria itu yang jelas lebih mapan. Lihat kalungnya! Itu pasti emas sekian karat yang akan menjamin masa depanmu bersamanya.

Dibanding Aku mungkin yang hanya memiliki segumpal cinta yang tak pernah utuh. Jangan kau tanya harta! Aku hanya punya cangkul dan sabit karatan.

Beib! Aku tahu, sebagai perempuan biasa, tentu kau berhitung-hitung masa depan. Apa yang bisa kau hitung dari buruh tani seperti aku? Yang setiap panen wajib membagi hasil pada yang empunya lahan. Lalu sibuk menghitung berapa biaya produksi, ongkos tanam, biaya pupuk, dan embel-embel lainnya. Lalu setelah kusamadengan di kalkulator, bagianku sebagai penggarap hanya cukup untuk melunasi hutang. Itu jika hasil panen bagus. Kamu tahu, Beib? Di sini, sudah tiga musim berturut-turut petani megap-megap. Harga dan hasil panen anjlok. Bahkan petani di sebelah, hanya mampu menghasilkan 7 karung gabah dalam luasan lahan 1 ha. Kalkulator tidak lagi digunakan untuk menghitung keuntungan, tapi berapa jumlah kerugian. Sudikah kiranya kau hidup dalam keadaan yang demikian itu, Beib? Jika aku wanita seperti kau pun, mungkin aku akan ber-istikharah dulu untuk menjawab, YA!

Hari ini tentu saja ucapan selamat kuucapkan kepadamu. Kau bijak menjatuhkan pilihan, Beib! Selain mapan nan rupawan, pria itu jelas bukan komunis. Juga tentu bukan proletar yang berjuang menumpas ketimpangan kelas. Aku pun bukan keduanya, Beib! Sudah kukatakan, aku ini buruh tani. Jika pun kau harus mengistilahkan, namai saja aku Mustadl'afin. Masyarakat bawah yang terpinggirkan!
Jadi tak usah tak enak hati dengan keputusan yang kau buat, Beib! Aku memang telah ditakdirkan sebagai Mustadaafin; Terpinggirkan dalam sistem, juga terpinggirkan dari sisimu.

Sesungguhnya aku telah jenuh dengan keterpinggiran ini, Beib! Telah cukup lama aku harus bergulat dengan kerasnya hidup. Tentu aku tidak sendiri, Beib! Petani lain pun sepertinya tahu betul, kehidupan yang dijalani ini keras. Coba perhatikan, Beib! Berapa banyak keluarga petani yang berusaha menyekolahkan putra-putri mereka setinggi-tingginya. Untuk apa? Yah agar anak-anaknya tidak jadi petani! Jauh di pengharapan mereka, anak-anaknya bisa jadi Dokter, Polisi, Tentara, Pengusaha, PNS, atau apa saja yang penting jangan Petani! Sedikit horor sih memang. Tapi mau bagaimana lagi? Petani juga manusia. Punya rasa punya hati. Jangan samakan dengan nonton bareng film G/30/S/PKI.

Tapi ucapan selamat bukan saja wajib kusampaikan kehadiratmu, Beib! Hari ini hari Tani Nasional. Aku pun harus mengirim ucapan selamat ke pada segenap petani di negeri ini. Meski rasa-rasanya sangat absurd mengucapkannya di layar smartphone. Ya iyah! Pak Tani dan Bu Tani apalagi yang gurem itu, jarang bersosial media, Beib! Mereka masih terlalu sibuk bekerja untuk sekedar menyambung hidup, alih-alih buka pesbuk dan bikin status "selamat hari tani" dengan rangkaian diksi yang paling keren.

"Loh, terus kamu ini siapa? Tadi Kamu bilang dirimu buruh tani gurem, loh kok malah main pesbuk, sudah itu banyak bacot pula? Jawab!"

Aku PKI, Beib!
Pria Kudisan Indonesia

Foto.net

Kamis, 07 September 2017

Jejak Pertanian Alami di Ubun-ubun Tanete

Hawa dingin musim kemarau mulai menusuk kulit malam itu. Suara jangkrik entah dimana, bergantian bersahutan dengan serangga nocturnal lainnya. Di satu rumah warga di perkampungan yang dikepung bukit-bukit hijau--Bapa Junjung, Bapa Husni, dan beberapa petani lain nampak larut dalam sebuah perbincangan.

Selain tape ketan dan kopi hitam terhidang di depan mata, dinginnya malam itu juga dihangatkan dengan obrolan seputar keseharian mereka sebagai petani kakao. Sembari mengepulkan asap tembakaunya, sesekali terselip kalimat bernada curahan hati--ihwal musim panen yang tak seindah harapan, ataupun harga kakao yang kian anjlok di pasaran.

Tanete, dalam sebutan beberapa bahasa daerah di Sulawesi Selatan dan Barat, dapat diartikan sebagai "puncak" atau "dataran tinggi". Mungkin demikian juga maksud penamaan wilayah yang terletak di barisan perbukitan desa Amola kecamatan Binuang kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat, ini.

Berada di daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan, Tanete adalah wilayah yang cukup subur. Bahkan dulu, sebelum menjadi perkebunan kakao, wilayah ini adalah salah satu penghasil kopi terbaik di Polewali Mandar.

Namun satu tragedi di dekade 60-70an, telah merubah arah peradaban tani wilayah ini. Tanaman kopi warga, yang menurut cerita Bapa Junjung dan Bapa-Bapa lainnya malam itu, rusak akibat penggunaan pestisida sintetis. Walhasil, petani beralih menanam kakao hingga saat ini.

Dimoderatori pemoeda gondrong, boeng Noerdien Chambaliwali, obrolan malam itu kian menukik ke akar persoalan yang tengah dihadapi pak-bapak tersebut. Bergantian mereka mengeluarkan argumentasi yang bisa dibilang kihitis.

Diantaranya yang saya cacat, eh catat, bahwa penggunaan input kimia dalam metode pertaniannya selama ini, belum memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan yang kini dihadapi.  Buah kakao keras saat musim kemarau. Buah busuk saat musim hujan. Padahal segala macam merek pestisida sudah digunakan. Biaya besar untuk pupuk telah dikeluarkan. Tapi toh hasil tetap demikian. Kadang lebih besar pasak dari pada tiaN.

Tanah di kebun yang kian hari kian berubah mengeras, juga ditengarai merupakan dampak penggunaan pupuk dan pestisida sintetis--yang secara jangka panjang baru mulai terasakan.
Membandingkan kondisi tanah masa lalu yang masih perawan dari jamahan pestisida dan pupuk sintetis made in perusahaan, menurut mereka, kondisi tanah sekarang menjurus memprihatinkan.

Sebagai pendengar setia obrolan malam itu, saya hanya bisa berujar "Uigh uigh uighh...." sambil sesekali meneguk kopi dan mencuri-curi tape ketan.

Suasana Diskusi santai dengan warga Tanete. Cerita-cerita reflektif mereka malam itu memberikan banyak pelajaran. Sekedar info, Tape ketan hitam itu sungguh nikmat sekali

Di awal-awal menjalani metode pertanian konvensional, dimana pupuk dan pestisida menjadi bintang utama, hasil yang diperoleh memang cukup menjanjikan. Tapi itu hanya dua tiga kali. Lambat laun, hasil produksi malah semakin menurun. Panen yang membahagiakan, menurut mereka, terakhir dirasakan di tahun 2006 silam.

Masuknya metode pertanian konvensional yang menggunakan input kimia ini, juga dikisahkan secara reflektif oleh bapak-bapak petani, telah mengubah keadaan sosiologis masyarakat desa cenderung menjadi individualis.

Pasalnya, di Tanete jaman dahulu terdapat kearifan lokal yang dikenal dengan istilah Massiallo. Sebuah tradisi kolektif, bergotong royong dan saling membantu mengerjakan lahan pertanian secara bergantian. Namun perlahan-lahan petani mulai meninggalkan tradisi tersebut, sebab kehadiran pestisida sintetis dirasa lebih efesien dan efektif. Artinya, petani mulai mengerjakan lahannya secara self to self

Entah karena membutuhkan obat pelipur lara, ataukah bapak-bapak petani malam itu memang telah tiba pada kesadaran kritis dalam pergulatan pengalaman bertani dalam kesehariannya, yang jelas, masalah yang dihadapi petani di Tanete dan petani di wilayah lain pada umumnya mengindikasikan bahwa dunia pertanian kini satu butuh tarekat baru menyongsong hari esok yang lebih baek.


                                      ***


Satu orang warga yang telat bergabung dalam obrolan malam itu, datang dan berujar:
"Kami ini sebagai petani, berpikir dengan mata!"

Satu kalimat yang kembali membakar obrolan di tengah dinginnya malam yang semakin larut.

Di Tanete, ataupun di tempat lain seperti di kampung saya yang mayoritas sebagai petani padi, sesungguhnya mempunyai kecenderungan telah menyadari bahwa pertanian dengan input kimia, memang membutuhkan modal produksi yang besar. Padaha tidak juga ada perubahan hasil yang signifikan. Soal dampak kesehatan maupun lingkungan, juga kian dinsafi. Namun, belum ditemukannya solusi yang dianggap lebih baik (dalam hal ini, metode pertanian, yang dampak perubahannya langsung terlihat. Alih-alih hegemoni penggunaan input kimia yang terlanjur massif dan mengakar) maka mereka masih tetap menjalankan pertanian konvensional dalam kondisi yang tak jarang gamang.

Menghubungkan pernyataan bapa petani yang "masbuk" tadi, jika mereka konon "berpikir dengan mata", maka alternatif solusi permasalahan mereka yang ditawarkan metode Pertanian Alami atau Natural Farming (NF) misalnya, mungkin sebaiknya mesti dibuktikan terlebih dahulu.


                                   ***


Anwar Khadafi (27), adalah salah satu petani muda dan petani penggerak di Tanete. Kerja-kerja pertanian alami yang hampir sembilan bulan dilakoninya, mulai menampakkan hasil. Pemuda yang mendapat pengetahuan dan keterampilan bertani alami dari Salassae-Bulukumba-Sulawesi Selatan-tersebut, banyak memperkenalkan metode Natural Farming (NF) bersama aktivis Tani lainnya di Polewali Mandar.

Pasang surut pergerakan pemuda yang menyandang gelar sarjana Ilmu Sosial ini, seperti telah menemukan momentum. Di lahan miliknya, kurang lebih 6000 pohon cabe tumbuh subur dan mulai berproduksi. Tentu saja cabe-cabe-an tersebut dirawat dengan metode NF.

Anwar Khadafi, salah satu petani muda dan penggerak pertanian alami Polewali Mandar. Praktik bertani alaminya sudah mulai menampakkan hasil. Jika dalam waktu dekat harga cabai kembali melambung mahal, dipastikan beliau terancam kaya.

Lahan yang terletak di kemiringan bukit Tanete itu, menjadi laboratorium pengaplikasian keterampilan bertani alami yang dimilikinya.
Pada pagi hari, saat buah cabe rawit merah merona berkilau terpapar cahaya matahari, lahan tersebut berhasil mengalihkan fokus dan pandangan petani lainnya yang berangkat ke kebun atau ladang masing-masing. Sebuah strategi, bahwa kampanye metode alternatif harus menjawab keadaan petani yang mayoritas menginkan hasil atau perubahan yang dapat mereka lihat secara real.

Bebas dari input kimia. Kurang lebih 6000 pohon cabe rawit ini dirawat dan dibesarkan dengan perlakuan alami. Jika petani lain melintasi lahan ini, katanya mereka suka heran. Sebab dalam situasi kemarau saja, penampakan cabe ini begitu istimewah.

Argumentasi ini tentu bukan sekedar praduga. Bapak Junjung, yang juga sekaligus tetangga ladang Anwar, punya cerita mengapa akhirnya belio memilih mengikuti jejak anak moeda ini.

Berkali-kali gagal dengan tanaman cabenya yang dikelola dengan input kimia, bapak Junjung tiba pada kodratnya sebagai manusia biasa. Ia hampir saja menyerah. Namun, saat tanaman yang keempat kalinya juga hampir gagal, dimana tanaman itu seperti tak ada harapan lagi untuk hidup, Bang Anwar Khadafi datang layaknya Ki Astagina dalam kisah Brama Kumbara--memberikan motivasi dan menyelamatkan lahan Pak Junjung dengan jurus-jurus NF. Wassyukurilah, sekarang cabe bapak Junjung sudah siap untuk dipanen.

Pengalaman itu, dan bukti fisik yang dilihat Pak Junjung, membuat dirinya harus membiarkan sekarung pupuk sintetis di rumahnya mengering tak tersentuh lagi--dan bersuka rela membaiyyat dirinya sebagai pengikut Anwar.

Bahkan bukan hanya di ladang cabe miliknya; metode NF yang mulai diketahui sedikit demi sedikit dari beberapa pelatihan dan praktek yang dibagikan oleh Anwar, juga telah diaplikasikan di kebun kakao-nya. Menurut cerita bapak Junjung malam itu, ada perubahan yang cukup besar. Kakaonya kini berdaun lebih hijau, dan buahnya tampak lebih berseri-seri. Ah, sayang sekali tak ada kesempatan menengoknya siang itu.

Begitupun dengan bapak Husni dan beberapa petani lainnya. Lewat pendampingan dan diskusi intens yang dilakukan Anwar, bapak-bapak petani ini mulai tertarik dengan konsep bertani alami.

Selain Bapak Junjung yang sudah mantap untuk belajar berpraktek pertanian alami, petani yang intens berdiskusi dan berbagi pengalaman adalah bapak Husni. Hari itu beliau mengenakan baju bergambar pohon beringin. Partai penguasa Orba yang mencetuskan kebijakan revolusi hijau untuk pertanian di Indonesia. 

Pertanian Alami sendiri adalah metode bertani yang bervisi mendaulatkan petani dari ketergantungan terhadap input kimia seperti pupuk atau pestisida sintetis dari perusahaan. Alternatif pertanian yang lebih ramah lingkungan, sebab bahan-bahan pengganti pestisida ataupun pupuk kimia tersebut dibuat dari bahan-bahan sekitar yang kemudian difermentasi menjadi mikroba.

Dari jenis mikroba yang ada, akan diracik satu sama lain ataupun dicampur dengan bahan-bahan khusus seperti jantung pisang yang mengandung nitrogen--pupuk kandang yang mengandung senyawa tertentu--dan bahan-bahan alami lainnya yang punya kandungan zat yang dibutuhkan tanah dan tanaman. Tentunya secara teknis, kawan-kawan pegiat NF inilah yang dapat memberikan penjelasan lebih apiek.

Herbal dan nutrisi alami. Dibuat dari racikan jenis-jenis mikroba dan bahan-bahan alami lokal yang bisa di dapatkan di lingkungan sekitar. Seperti jantung pisang, pepaya masak, tulang belulang; dan masih banyak lagi bahan lainnya yang memiliki unsur yang dibutuhkan tanah dan tanaman. Kalo cewek yang katanya langsung mau dilamar saja tapi nyatanya berpacar-pacaran juga, apakah bisa dijadikan mikroba? Ups, dari wawancara singkat, diketahui jika gula merah adalah bahan vital dalam pembuatan herbal dan nutrisi alami ini, Cok!.

Namun, menurut kawan-kawan aktipis ini, konsep dan tujuan pertanian alami bukan hanya sibuk untuk berkutat pada persoalan itu. Lebih jauh, ada hal yang dianggap penting untuk mewujudkan kedaulatan petani dan perubahan sosial itu sendiri--dengan pertanian alami sebagai "tarekatnya". Selengkapnya, anda bisa membaca referensi bagus soal POKOK-POKOK PERTANIAN ALAMI

Anwar dan komunitas kecil yang mulai terbentuk di desanya ini, tidak hanya terpaku pada resep-resep paten yang telah Ia ketahui. Anwar terus berkreatifitas sebagai petani sekaligus pendamping--dengan aktif berdiskusi dan memantik pengetahuan dan pengalaman petani untuk kembali menggali kearifan-kearifan lokal yang pernah dipraktekkan oleh leluhur mereka dulu. Seperti misalnya pemanfaatan tumbuhan lokal yang memiliki khasiat untuk tanaman. Tumbuhan yang dulu pernah digunakan untuk mengusir hama, dan lain sebagainya. Dari proses itu, kini Anwar dan petani lainnya telah menemukan beberapa tumbuhan lokal yang dapat dibuktikan keampuhannya.

Jauh lebih dalam, Anwar berharap bahwa kerja-kerja pertanian alami yang digelutinya saat ini, dapat mengantarkan pada kembalinya nilai-nilai kearifan lokal lain yang pernah membumi--seperti misalnya tradisi Mangngallo. Semangat dan nilai gotong-royong yang terkandung di dalamnya, dirasa Anwar dan juga petani lain yang mengobrol malam itu, dapat menumbuhkan kembali sikap kolektivitas warga desa yang kini mulai redup ditikam zaman.

Visi besar dikemudian hari adalah bahwa dengan adanya komunitas yang terbentuk, warga desa akan dapat saling mendukung dan bekerja sama untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian sebagai petani ke dalam realitas kehidupan mereka.

Sebuah harapan dan cita-cita besar dari para pegiat pertanian alami di ubun-ubun Tanete--Sekaligus menjadi pembelajaran dan inspirasi untuk kita orang yang pernah gagal sebelum menanam.

Akhirnya, selamat menanti kenaikan harga cabe, sehat terus dan sukses selalu, Bang!

Selain mulai sibuk memanen. Anwar dkk berencana akan menambah luasan areal tanaman cabenya. Juga sekaligus akan melakukan praktik dan pendidikan untuk warga desa yang lain, bersama dengan pegiat pertanian alami lainnya di Polewali Mandar.*


NB: Jika berkunjung ke ladang cabe menggugah selera seperti ini, jangan lupa bawa tahu isi.