Gbr. net |
"Wahai pemuda, siapa yang mampu menikah, maka menikahlah, karena sungguh hal tersebut lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang tidak mampu (menikah) maka hendaklah ia berpuasa, karena (puasa menjadi) pengendali baginya." (H.R. Bukhari).
Hadits di atas cukup sering dikutip para muballigh saat ceramah tarwih di masjid kampungku. Dulu tapi -- sebelum korona merenggut indah dan semaraknya ibadah malam Ramadhan di masjid.
Bahkan kutipan ini kudengar saat testosteron dalam diriku belum pula aktif alih-alih menuntut sebuah revolusi; alias belum puber karena masih SD. Jadi manalah aku paham substansi ceramahnya Pak Ustad waktu itu.
Namun, satu hal yang membuatku selalu betah duduk berlama-lama setiap ceramah tarwih adalah karena pada dasarnya sejak kecil aku telah mencintai majelis ilmu (warbiasah). Dan terakhir kusadari bahwa kecenderungan kepribadianku sepertinya adalah seorang introvert; lebih suka mendengarkan (ceramah) ketimbang berbicara. Typecal lelaki yang sungguh sangat tepat dijadikan sandaran sekaligus westafel untuk memuntahkan segala uneg-uneg dan permasalahan hidupmu (baca: dramamu dengan pasanganmu)
Tapi bukan nostalgia itu yang hendak kusampaikan, wahai, Ukhti!
Sebab malam tadi, setelah mengingat pesan muballigh seperti kutipan hadits di awal, rasanya aku ingin mengafirmasi ulang informasi dan pengetahuanku tentang puasa ialah ihwal tahan-menahan.
Maka terdamparlah aku pada situs web (pak) Prof. Quraish Shihab. Membaca satu tulisan di sana, dan mengutip:
[Ada orang yang mempersamakan maksud kata shaum dan shiyam. Sebenarnya tidaklah demikian, kendati keduanya dari segi bahasa berarti menahan. Shiyam adalah menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seks demi karena Allah sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Inilah yang ditunjuk antara lain oleh QS. al-Baqarah [2]: 183 dan yang atas dasarnya umat Islam berpuasa sepanjang bulan Ramadhan. Sedang shaum digunakan al-Qur’an untuk makna menahan diri tidak mengucapkan sesuatu yang tidak berguna walau sesuatu itu benar]
Tentu saja aku mendapatkan satu pemahaman baru. Ada perbedaan denotasi antara dua term itu: shiyam dan shaum.
Hal tersebut juga diulas oleh (pak) Dr. Sabara Nuruddin dengan lebih spesifik dalam tulisannya di Seputar Sulawesidotcom beberapa hari lalu. Kukutip beberapa poin:
[Terminologi shiyam adalah perintah menahan dalam konteks kewajiban syariat. Kata shaum disebutkan dalam Alquran ketika Allah memerintahkan Sayyidah Maryam untuk menahan diri dari berbicara berkenaan dengan kelahiran putranya, yaitu Isa as]
[Shaum mempertegas nilai dari perintah shiyam menjadi tidak hanya menahan diri dari makan, minum dan seks, tapi menahan diri dari melakukan kesia-siaan]
[Dapat disimpulkan, shiyam berarti menahan sedangkan shaum konteksnya adalah “menuhan”. Shiyam adalah perintah syariat, sedangkan shaum adalah jalan menggapai hakikat]
[Shiyam bersifat temporer karena dibatasi durasi dari fajar hingga malam dan dilaksanakan pada hari tertentu saja, sedangkan shaum tidak dibatasi oleh waktu atau bersifat permanen]
[Shiyam mengenal berbuka sedangkan shaum tak mengenal berbuka. Shiyam diwajibkan selama sebulan, sedangkan perintah shaum berlaku sepanjang tahun]
[Perintah shiyam mengenal uzur karena sakit, berhalangan atau dalam perjalanan, sedangkan keuzuran dari perintah shaum hanya berlaku ketika seorang kehilangan akal sehat atau gila]
Tentu saja, setelah membaca itu, lagi-lagi aku merasa tercerahkan. Ada perbedaan-perbedaan yang sekiranya patut direfleksikan.
Maka, dalam tafsir yang lebih personal dan tentu saja ngasal serta tak bertanggung jawab, aku mencoba melakukan semacam 'kontekstualisasi' pada keadaan Ramadhan kali ini. Misal:
✓Memilih untuk sementara waktu tidak beribadah di masjid dalam rangka menghindari kerumunan, adalah juga sebentuk laku menahan. Sebutlah ia adalah kategori 'shiyam'. Sebab ini hanya dilakukan temporer. Hanya sementara. Nanti jika virus koronanya hilang, ibadah berjamaah di masjid bisa kembali dilakukan. Begitupun misalnya pilihan untuk tidak bersalaman dan saling jaga jarak, serta hal-hal lain yang sekiranya telah menjadi imbauan yang berulang-ulang.
✓Pun memilih untuk tidak menikah dulu (bagi yang tidak mampu dari segi apapun), maka anjuran untuk berpuasa (seperti dalam kutipan hadits di awal) adalah jelas sebentuk menahan yang sebenar-benarnya menahan.
Dalam konteks peristilahan seperti yang dijabarkan sebelumnya, menahannya ini adalah kategori 'Shaum'. Sebab waktunya bersifat permanen. Bukanlah menahannya sebatas tempo terbitnya fajar hingga terbenam matahari -- setelah itu mencak-mencak dirasuki libido; misalnya.
Selagi masih tidak mampu (tapi belum gila), yah shaum ini dilakukan sepanjang waktu. Kalau perlu 17 bulan dalam setahun. Sebab bisa jadi, itulah jalan ninjamu menempuh hakikat kejombloan yang HQQ.