Kami memutuskan untuk tidak saling berboncengan. Sebab, akses jalan menuju lokasi tersebut katanya lumayan sulit. Dan benar adanya -- kami harus melewati jalan setapak yang setelah menurun, lalu tiba-tiba menanjak secara radikal.
Hujan semalam membuat jalanan jadi lebih licin. Tapi untuk menebus rasa penasaran, tuas gas Jupiter z yang saya tunggangi, terus terpacu. Tiba-tiba motor 115 cc ini, seperti hanya punya satu gear perseneling. Gigi satu dengan tarikan gas maksimal jika jalan menanjak. Juga gigi satu saat harus menurun, membantu tromol belakang mengontrol kecepatan. Cukup melelahkan.
Tapi gengsi sebagai lelaki tangguh ditawan oleh bu Hasna. Perempuan dua anak ini begitu lihai menaklukkan jalanan. Bersama Honda Revo-nya, Ia melesat di depan. Meninggalkan saya sekian meter di belakang yang memang baru pertama kali melalui jalan ini. Tersadarlah saya dari pengaruh bualan iklan; Yamaha Semakin di Depan.
Hampir 30 menit berjibaku di jalan licin itu, sepeda motor akhirnya kami parkir. Jalanan di depan jadi lebih ekstrim. Perjalanan, mau tidak mau harus dilanjutkan dengan berjalan kaki.
Untuk menyamarkan rasa lelah. Sepanjang perjalanan kaki ini, ragam pertanyaan terus saya lontarkan ke Ibu Hasna. Mulai dari soal perkembangan P2K2 (Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga), dan tentu saja ihwal padi ladang dan aktivitas pertanian di desanya. Namun karena terbajak lelah, jawaban-jawabannya, samar-samar saya dengarkan.
Ibu Hasna saya kenal baru beberapa bulan ini. Menjabat sekretaris di kelompok Ibu-ibu Keluarga Penerima Manfaat Program Keluarga Harapan, membuat saya cukup intens berkomunikasi dengannya. Soal inisiatif mengunjungi aktifitas panen hari ini, juga berawal dari informasi yang saya dapat darinya. Oh yah, wilayah yang akan kami kunjungi ini meski lumayan jauh, masih dalam wilayah dusun Pekeloang, Desa Daala Timur, Kecamatan Bulo, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Lengkap toh?
Sekira 20 menit berjalan kaki, areal ladang dengan padi yang menguning sudah tampak di ujung mata. Ini adalah kali pertama saya melihat secara langsung tanaman padi yang berbaris indah di sepanjang kaki bukit.
Saya dan bu Hasna akhirnya tiba juga di ladang yang hari ini sedang panen. Beberapa petani nampak sudah mulai beristirahat dan sarapan (istilah di kampung saya ketika rehat sejenak untuk minum kopi atau menyantap kue yang disediakan).
Kesempatan tidak saya buang-buang. Setelah ngudud, dan tentu saja berkenalan dengan beberapa petani yang baru pertama ini bertemu, saya langsung saja 'turlap' -- memanggil insting kepo -- bertanya tentang banyak hal -- dan mendokumentasikan apa saja yang menurutku menarik.
Pemandangan di kaki bukit. Dari sini, tampak sungai Maloso di bawah sana. |
Serangan babi menjadi rentan dikarenakan ladang-ladang ini berada di pinggir hutan. Menurut cerita warga lahan ini sudah dikelola turun-temurun, meskipun berada di sekitar kawasan hutan |
Matahari yang terik menjadi tidak terasa dengan guyonan dan ledakan tawa di sepanjang mereka bekerja |
Dari mulai menanam hingga panen, semua dilakukan dengan tradisional. Seorang petani laki-laki menggunakan alat potong padi yang saya lupa namanya apa. |
Perempuan dan laki-laki berbaur bekerja sama. Ini sudah tradisi dan keraifan lokal mereka. Pembagian peran yang bijak, tanpa embel-embel kajian kesetaraan gender yang kadang muluk-muluk itu. |