Daftar Blog Saya

Senin, 25 Desember 2017

Selamat Natal, Santho!

SANTOSO -- Sekilas mendengar nama ini, sangat sulit untuk tidak membayangkan dirinya adalah sosok pria kekar dengan tubuh penuh otot macam Agung Hercules, Dwayne Johnson, hingga Cristiano Ronaldo. Oh yah, yang disebut terakhir itu adalah salah satu korban pemberontakan pasukan Catalonia di Bernabeu, dua hari lalu -- sebuah laga bertajuk El Clasico, yang konon katanya lebih mirip ajang geladi bagi Gerrard Pique, untuk kompetisi yang sesungguhnya di liga champions musim ini.

Namun alih-alih serupa Agung, Dwayne, atau Ronaldo; kawan saya ini tampak lebih mirip Andik Firmansyah. Postur biasa saja -- tapi stamina, kecepatan, dan kejujuran, bolehlah diadu dengan Dani Carvajal, pemain el blancos yang diganjar kartu merah, sebab dengan sengaja menangkap bola di bawah mistar gawang, padahal posisinya bek kanan, bukan aparat kepolisian.

"Itu hanya bola, Jal! Bukan Papa. Kenapa ditangkap, gol kan?"

Kira-kira begitu bisikan hati Messi sesaat sebelum mengeksekusi pinalti.

Tapi stamina Santoso memang tidak pernah saya sangsikan. Dialah manusia pertama yang saya saksikan mampu mendorong sepeda motor berkilo-kilo jauhnya di jalan yang hampir seluruhnya adalah tanjakan. Peristiwa bersejarah yang luput dicatat Jaya Suprana di rekor MURI itu, terjadi saat kami melakukan observasi wilayah saat ber-kkn dulu.

Soal kecepatan, Dia pula ahlinya. Bukan hanya soal kecepatan merasa lapar dan paling cepat di meja makan. Santho, begitu biasa ia kami sapa, juga sangat cepat dalam soal memacu sepeda motor. Pernah saya hampir dibuat muntah karena diboncengnya. Entah karena bermaksud menguji adrenalin, atau dia punya sembilan cadangan nyawa, yang jelas, gaya mengendaranya seperti sedang beradu balap dengan garis putih di tengah jalan. Belakangan saya berpikir, seharusnya yang jadi bintang iklan jupiter itu dia, bukannya Komeng.

Antho Demallolongan, begitu nama kerennya di pesbuk, selain bersahaja, juga punya sebuah kekuatan meruntuhkan wibawa orang di sekitarnya. Bagaimana penuh payahnya saya menjaga wibawa sebagai kordes dengan citra kalem, tenang, dan mengayomi -- di hadapan Santoso, dan dua orang kawan lainnya, hancur berkeping-keping. Tak tahan saya untuk tidak ikut berjoged tiap kali musik discodut Ia putar.

Apalah saya. Yang lebih jauh ganas jadi korban adalah orang tua angkat di lokasi KKN, Pak Desa.
Satu dua minggu berjalan, keadaan masih kondusif. Masing-masing jaga image, antara 10 mahasiswa dan Pak Desa. Tapi entah telah terjadi manuver dan lobi apa di belakang sana, tiba-tiba saja hampir setiap malam terjadi perang kentut yang memekakan telinga. Suasana posko yang sunyi menjelang istirahat malam, seolah berubah jadi Jalur Gaza yang mencekam. Sulit untuk melakukan aksi protes dan perlawanan, sebab selain Santo dan dua kawan lainnya, Pakde jualah yang paling antusias dan mengapresiasi helatan yang menjurus anarkis tersebut.

Tapi tentu saja tidak ada anarkis. Tidak ada dendam, apalagi perasaan yang tersakiti. Sebab selebihnya, penghormatan dan saling menghargai antara kami, telah melebur ke dalam bentuknya yang paling absurd, namun merekatkan.

Idul Fitri tahun lalu adalah kunjungan terakhir ke kediaman pakde. Bersama kawan lainnya, kami bersilaturrahmi kembali. Dan ternyata yang paling dinanti kehadirannya adalah dia yang pernah meruntuhkan wibawa pakde; Santoso.

Entah bagaimana sekarang. Kabar terakhirnya konon Ia sedang sibuk menjalani hari-hari sebagai fresh graduate di kota Daeng. Tapi semoga tak termakan sibuklah. Sebab melewatkan Natal tanpa bersama keluarga, tentu saja berpotensi menjatuhkan air mata.

Selamat Natal, bro! Semoga senantiasa diberi keselamatan dimanapun dirimu berada. Selamat Natal juga untuk saudara yang lain yang merayakan Natal tahun ini

Santoso saat mendorong sepeda motor Pak De ber-kilo-kilo-meter jaunya -- di jalan yang penuh dengan tanjakan

Rabu, 13 Desember 2017

Abu Janda, Felix Xiau, dan Perbicangan Seolah-olah

Makan siang tadi siang tidak terlalu jauh berbeda dari makan siang makan siang sebelumnya. Tetap makan nasi, bukan bubur apalagi dedak dicampur keong. Namun yang istimewah, sebab saya menyantap makan siang alakadarnya dengan satu sahabat yang gondrong dan jenggotnya saja sudah progresif.

Meski di meja makan ringkih itu nasi hanya ditemani perkedel jagung yang pinggirannya gosong sebab digoreng sendiri oleh saya, telur dadar yang lumayanlah rasanya sebab diracik sendiri oleh saya, dan satu ikan bandeng goreng dengan taburan biji cabe keriting diatasnya--makanan ini tetap disyukuri, sebab yakin saya sumbernya dari rezeki yang halolan thoyyiban. Insyaallah tidak bersumber dari kalomang yang tempo hari menggauli kas daerah.

Agak lain memang, sebab tidak ada sayur bening atau unsur-unsur yang ada kuahnya. Entah hari ini kenapa si sayur tidak ada. Mau mengganti dengan kuah mi instan, tentu saja adalah bentuk pelanggaran HAM. Sebab sahabat ini sudah membenci indomie sejak dalam pikiran. Bisa-bisa nanti makan siang tertunda, sebab harus mengkaji PT. Indofood secara ekonomi dan politik dulu. Namun tentu saja itu hanya pikiran spekulatif saja. Sebab meski tidak selera dengan imdomie sejak dalam pikiran, sahabat ini sangat toleran pada yang berbeda pandang, dan jelas sangat menghargai orang yang punya pacar sejak dalam kenangan.

Meminjam ungkapan Felix Siauw, Hamdulillah, sepertinya dia cukup menikmati makanan di depannya. Sebagai manusia yang pernah hidup di kost atau sekret orhanisasi, makanan alakadar tersebut tentu sudah spesial. Sebab sudah cukup banyak waktu kita hanya makan roti sekali dalam sehari, ataupun nasi putih yang ditemani kerupuk ajisan. Sesekali memang diganti dengan ayam. Kerupuk ayam mas, maksudnya.

Meski konon pamali mengobrol saat makan, hal tersebut tak bisa dihindari. Sahabat saya ini memang senang diskusi. Ditengah pergulatan intelektualnya, tentu wajar jika dirinya sering membaca realitas tidak dengan normatif-normatif saja. Dan itu yang membuat dia menjadi teman diskusi yang baik. Tak disangkal, saya cukup banyak mendapat hal yang informatif dari alena balao, maksudnya beliau. Dan jika obrolan sambil makan itu adalah pamali, saya berharap semoga menjadi pamali yang hasanah, bukannya dholalah.

Tapi entah karena dimulai dengan obrolan apa, tiba-tiba saja kawan ini bermanuver dengan memberi pertanyaan kecil.

"Kira-kira, kapan itu media on line se-massif sekarang die?"

Saya tahu, dia sedang memposisikan saya sebagai orang dewasa. Menempatkan saya setara dengan dirinya sebagai subjek sebuah topik kecil -- yang besar kemungkinan sebenarnya dia sudah tahu. Gondrong gitu loh!

Saya menandaskan perkedel jagung yang terlanjur saya kunyah. Lalu agar tidak terkesan seperti Ustad Abu Janda yang oleh netizen dikatakan kalah debat di ILC beberapa waktu yang lalu, saya berpikir sejenak, dan mencoba menyusun argumentasi yang kira-kira logis dan se-retorikaik Ustad Felix Siauw. Tapi tentu saja tetap dengan sikap rendah hati dan tidak sombong. Alih-alih dengan jumawah mengatakan, bahwa Kalau di Indonesia ini, insyaallah saya yang paling paham media on laing.

"Kurang tau ka itu nah. Tapi kalo di Sulbar ini, kayaknya media online itu massif sekali sejak Pilgub lalu," ucap saya dengan sok yakin.

Dan karena katanya ustad Felix kalau ngomong harus ada data, maka saya pun mencoba meniru-nirunya.

"Bahkan di Mamuju itu, ada sekian ratus media online. Mungkin sekitar 200 an lebih. Belum pi lagi yang di Majene, Mamuju, Mamasa, dan Polman sendiri" ucap saya lagi, tanpa bilang hamdulillah.

"Anumi sekarang die, tidak terlalu bagaimana mi orang kalau ada tulisannya di media. Beda dulu, penulis atau jurnalis itu kesan intelektualnya masih sangat kuat" ucapnya, memancing pendapat saya, seperti Karni Ilyas.

Saya memperbaiki posisi duduk, mencoba mengatur intonasi suara agar tetap terkesan seperti Felix Siauw, dan mulai memberi pendapat sok saya, persis ketika tangannya menyambar sepotong telor dadar yang saya beri lima potong cabe itu.

"Bisa jadi memang. Tapi kalau saya, dengan massifnya media OL seperti sekarang, bagus tonji untuk pengayaan wacana. Jadi bedami dengan dulu-dulu, wacana yang dilempar ke kita betul-betul menjadi monopolinya jurnalis dan media mapan. Kalau sekarang, praktis semua unsur bisa membicarakan dirinya, merangkai, dan menjadi subjek pada wacananya sendiri. Mau dia petani, nelayan, politisi, gembel, sampai koruptor", kata saya panjang lebar, seperti benar-benar paham persoalan, dan paling tahu media on line se-Indonesia.

Sahabat saya itu tidak menganguk-ngangguk, atau memberi kode jika Ia cukup mengerti apa yang saya katakan. Ia hanya mengambil air putih dan segera meminumnya. Iyalah diminum, sebab jika ia lebih memilih menumpahkannya, itu sungguh tindakan yang selucu parodi Abu Janda--yang membikin Abu-abu lain disana tertawa penuh kemenangan. Sebab dianggapnya mereka telah menang. Padahal Abu yang bapaknya Janda itu, mungkin memang hanya sedang lucu-lucuan. Ah, bodo amat!


Abu Janda dan Felix Siauw di acara WWE ILC (Indonesia Lawak Club)