Melihat video itu, saya jadi tersenyum (tidak manis) menyadari eksistensi homo internetius seperti saya (dan juga kamu, iyah kamu!) yang demikian sudah sangat bergantung pada internet, perangkat digital, dan satelit-satelit lain yang mengitarinya. Yang membuat senyum saya semakin tidak manis, bahwa ketergantungan itu juga semakin mewabah pada anak-anak kita. Iyah, anak-anak kita!
Ketergantungan yang tentu saja menimbulkan kekuatiran bagi orang tua. Mulai dari soal dampak kesehatan mata anak sebab terpapar radiasi hapes terlalu lama menonton serial Upin-Ipin di YouTube, kesehatan mental anak sebab masih begitu polos ingin meniru gerakan skill ulti Hayabusa di Mobile Legend, hingga kekuatiran soal kekerasan dalam rumah tangga karena bapak dan anak saling berebut hape mau nonton Upin-Ipin; Si anak marah-marah dan akhirnya dikasi skill ulti Hayabusa sama bapaknya.
Saya cukup sering loh mendengar keluhan dari para orang tua tentang bagaimana anak mereka menjadi rewel jika tak dibiarkan bermain hape, "Anu... tappa menangis kalo nda dikasi i...." begitu kata salah satu orang tua yang juga teman saya di suatu malam.
Bukan hanya dari teman, anak-anak dari sodara saya sendiri bukan main rewelnya jika tak diberi hape. Malah salah satu dari mereka itu, yang umurnya baru jalan dua tahun, sudah sering nangis kalau kakak atau mamaknya VC-an dan bukan dia yang pegang hape. Sungguh generasi Alpha yang sejati.
Tapi yah tentu, tidak semua anak yang rewel, marah-marah, bahkan nangis-nangis itu gara-gara tak dibiarkan bermain hape. Bisa saja karena anak-anaknya merasa dicurangi, dizolimi, sebab pilihan presiden mainannya
Tentu kita harus adil sejak dalam pikiran menyikapi fenomena tersebut. Dan tidak lantas juga ujug-ujug menghakimi internet, dunia digital, dan segala satelit yang mengitarinya sebagai monster penghancur peradaban umat manusia. Lalu dengan gegabah melakukan boikot smartphone made in China apalagi yang tak berjaringan 4G karena dianggap jadi biang keladi dari semakin massifnya intensitas kita dengan teknologi digital.
Atau karena saking gemesnya dengar anak kecil telah sangat fasih berkata-kata kasar saat bermain game online, lantas kita memilih menggalang massa ke area No Signal agar tetap Istiqomah dari godaan internet yang terkutuk. Dan terpaksalah anak-anak kecil jadi menangis meronta karena tak bisa lagi yutupan dan main game. Lalu seseorang tetiba meracau: "Turunkan Presiden, turunkan Presiden! Presiden antek aseng yang menyuplai hape Cina!" MISALNYA.
Internet, perangkat digital, dan seluruh satelit yang mengitarinya, sejatinya adalah alat. sekali lagi, alat! Jangan beri awalan di-per . Ia seperti pisau memang. Keberadaannya dapat digunakan untuk hal positif seperti mengupas kulit durian, tapi juga sekaligus dapat digunakan untuk hal negatif macam menikam jantung sendiri karena tak sanggup menerima kenyataan ceweknya dilamar orang. Dasar kau laki-laki lemah!
Tapi bagi anak-anak, bukankah mereka sering kali terluka jika dibiarkan main pisau sendiri? Begitupun dengan perangkat digital itu. Peran dan kreativitas orang tua diperlukan dalam mendidik, mengontrol, serta menyesuaikan diri dengan kenyataan sang anak yang tumbuh dalam iklim generasi Z dan bahkan masuk dalam kategori generasi Alpha menurut teori generasinya Ilmu Sosiologi -- generasi yang lahir di rentan waktu tahun 2011 hingga 2024.
Sebagai (calon) orang tua memang harus tetap cerdas sih. Sebab, tentulah jauh beda tantangan yang dihadapi generasi Z dengan generasi Meggy Z macam kita-kita ini.
Generasi Meggy Z, yang juga segenerasi dengan legenda lainnya macam Abiem Ngesti, misalnya, waktu kecilnya dulu hanya bercita-cita jadi pangeran dangdut. Saya juga tidak tauh kenapa mentok jadi pangeran dangdut. Sepertinya beliau sangat takzim dengan bang Haji Rhoma Irama yang lebih dulu sudah jadi raja. Dari keadaan ini, sebenarnya jagad dangdut itu jadi sedikit ambigu yah. Musiknya dari, oleh, dan untuk rakyat, tapi sistemnya kerajaan alih-alih demokrasi. Tapi yah bodo amatlah lah. Selama bukan khilafah, Dangdut this is music of my Country. Tarik, Maang!
Kembali ke soal anak, sebab, sebagai orang tua yang baik, kepentingan anak adalah segalanya. Tentu saja saya sedang membicarakan pengalaman orang lain, karena saat ini saya belum begitu memprioritaskan anak. Fokus saya masih soal masa depan. Bagaimana menata diri agar segera bisa menghalalkan dan memberimu anak. Uwoak.
Jadi begini, Mas! Jika anak generasi Meggy Z itu cita-citanya masih sangat konvensional dan itu-itu saja, seperti ingin jadi dokter, tentara, polisi, guru, dll, yang semua cita-cita itu dapat diwujudkan dalam karnaval Agustusan, maka, anak-anak generasi Z terlebih lagi generasi Alpha itu, bisa jadi akan bercita-cita jauh lebih kompleks. Dari kompleksitas itu, rentan terjadi gap antara ortu dan anaknya. Seriusan, orang tua pengguna smartphone di kampung saya itu masih ada yang kesulitan membedakan antara WhatsApp dengan WA. Sungguh keterlaluan.
Nah, dengan iklim digital yang pastinya kedepan bakal lebih massif, coba bayangkan jika tiba-tiba anak-anak Alpha itu menyampaikan ke kita kalau dia bercita-cita ingin jadi seperti Tuturu, Lemon, Benny Moza, EJ Gaming, atau Kimi Hime? Saya yakin, banyak orang tua yang buru-buru memesan ramuan kasumba ogi dan meminumkannya ke pada sang anak. Dikiranya itu igauan sebelum anak diserang campak.
Saya kira contoh yang saya kisahkan ini berlebihan. Saya tetap yakin kok, dengan usaha untuk terus mengupgrade diri, (calon) orang tua seperti kita ini (pengguna smartphone tapi phone-nya kadang lebih smart), tidak akan terlalu tertinggal wacana peradaban anak-anak generasi Z atau alam pikir generasi Alpha seperti anak yang dikisahkan di awal. Itu mengisyaratkan bahwa (kita) sebagai orang tua mesti senantiasa membuka diri pada dialektika perubahan jaman. Tentu saja tidak harus kehilangan prinsip, identitas, ataupun keyakinan lama yang telah menjadi nilai-nilai hidup dan masih relevan di kehidupan kekinian kita.
note: karena kehilangan jejak di IG, saya menyalin link video ini dari yutup saja.